Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri untuk mengambil harta suaminya di luar pengetahuan suaminya, karena suami tidak memberikan nafkah yang cukup bagi istri dan anaknya. Ini menunjukkan bahwa dalam harta suami, ada bagian yang wajib diberikan kepada istri dan anaknya.
Ustaz Ammi Nur Baits menjelaskan ketika terjadi perceraian dan masa iddah sudah selesai, wanita yang dulunya menjadi istri, kini berubah status menjadi mantan istri. Tali pernikahan sudah putus, bukan lagi suami-istri. Sehingga dia tidak wajib dinafkahi oleh mantan suaminya.
Baca Juga: Jangan Malu dan Malas, Hari Libur Membantu Pekerjaan Istri di Rumah Amalan Sunah
Namun hak nafkah bagi anak, tidak putus, sehingga ayah tetap berkewajiban menanggung semua kebutuhan anak, sekalipun anak itu tinggal bersama mantan istrinya.
Imam Ibnul Mundzir mengatakan,
وَأَجْمَعَ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُ عَنْهُ مَنْ أَهْلِ الْعِلْمِ , عَلَى أَنَّ عَلَى الْمَرْءِ نَفَقَةَ أَوْلادِهِ الأَطْفَالِ الَّذِينَ لا مَالَ لَهُمْ . وَلأَنَّ وَلَدَ الإِنْسَانِ بَعْضُهُ , وَهُوَ بَعْضُ وَالِدِهِ , فَكَمَا يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُنْفِقَ عَلَى نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ كَذَلِكَ عَلَى بَعْضِهِ وَأَصْلِه