Ada dua hal yang ingin disampaikan terkait puasa Syawal yang pertama mengenai fikih ringkas puasa syawal, lalu mengenai pelajaran penting dari puasa Syawal.
Fikih ringkas puasa Syawal:
1. Hukum puasa Syawal itu sunnah, bukan wajib.
2. Lebih afdhal melakukan puasa Syawal langsung setelah Idulfitri agar lebih cepat tertunaikan dan tidak ada penghalang yang akan menghalangi belakangan.
3. Lebih afdhal melakukan puasa Syawal berturut-turut.
4. Puasa Syawal boleh dilakukan secara terpisah (tidak berturut-turut) dan boleh tidak di awal Syawal.
5. Puasa Ramadhan diikutkan dengan puasa enam hari di bulan Syawal sama dengan puasa setahun penuh.
6. Boleh melaksanakan puasa Syawal di akhirnya, yang penting masih di bulan Syawal.
7. Terkhusus yang luput dari puasa Ramadhan dan ia melakukan puasa Syawal, maka ia tidak mendapatkan pahala puasa setahun seperti yang disebut dalam hadits. Untuk keadaan seperti ini disarankan untuk menyempurnakan puasa Ramadhan dahulu dengan membayar qadha’ puasa lalu melaksanakan puasa Syawal.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Pelajaran dari puasa Syawal:
1. Menggenapkan pahala berpuasa setahun penuh
Dalam hadits yang sudah disebutkan sebelumya,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR Muslim nomor 1164)
Para ulama mengatakan bahwa berpuasa seperti setahun penuh asalnya karena setiap kebaikan semisal dengan sepuluh kebaikan. Bulan Ramadhan (puasa sebulan penuh) sama dengan (berpuasa) selama sepuluh bulan (30 x 10 = 300 hari = 10 bulan) dan puasa enam hari di bulan Syawal sama dengan (berpuasa) selama dua bulan (6 x 10 = 60 hari = 2 bulan). (Lihat Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8:56).
2. Puasa Syawal seperti halnya sholat sunnah rawatib yang dapat menutup kekurangan dan menyempurnakan ibadah wajib
3. Puasa Syawal tanda diterimanya amalan puasa Ramadhan
Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima amalan seorang hamba, maka Dia akan menunjuki pada amalan saleh selanjutnya. Jika Allah menerima amalan puasa Ramadhan, maka Allah akan tunjuki untuk melakukan amalan saleh lainnya, di antaranya puasa enam hari di bulan Syawal. Lihat Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 388.
4. Bentuk syukur pada Allah Ta'ala
Nikmat apakah yang disyukuri? Yaitu nikmat ampunan dosa yang begitu banyak di bulan Ramadhan. Bukankah kita telah ketahui bahwa melalui amalan puasa dan shalat malam selama sebulan penuh adalah sebab datangnya ampunan Allah, begitu pula dengan amalan menghidupkan malam lailatul qadr di akhir-akhir bulan Ramadhan?!
Ingatlah bahwa rasa syukur haruslah diwujudkan setiap saat dan bukan hanya sekali saja ketika mendapatkan nikmat. Namun, setelah mendapatkan satu nikmat kita butuh pada bentuk syukur yang selanjutnya. Ada bait sya’ir yang cukup bagus:
إِذَا كَانَ شُكْرِي نِعْمَةَ اللهِ نِعْمَةً
عَلَيَّ لَهُ فِي مِثْلِهَا يَجِبُ الشُّكْرُ
فَكَيْفَ بُلُوْغُ الشُّكْرِ إِلاَّ بِفَضْلِهِ
وَ إِنْ طَالَتْ الأَيَّامُ وَ اتَّصَلَ العُمْرُ
Jika syukurku atas nikmat Allah adalah suatu nikmat,
wajib atasku untuk bersyukur pula atasnya.
Bagaimana mungkin kita dapat bersyukur kecuali dengan karunia-Nya?
Meskipun hari semakin panjang dan umur terus bertambah.
5. Menandakan ibadahnya kontinu
Ada yang bertanya kepada Bisyr, “Ada kaum yang rajin ibadah dan bersemangat sekali di bulan Ramadhan.” Bisyr menjawab,
بِئْسَ القَوْمُ لاَ يَعْرِفُوْنَ اللهَ حَقًّا إِلاَّ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ إِنَّ الصَّالِحَ الَّذِي يَتَعَبَّدُ وَ يَجْتَهِدُ السَّنَةَ كُلَّهَا
“Sejelek-jelek kaum adalah yang mengenal Allah di bulan Ramadhan saja. Ingat, orang yang saleh yang sejati adalah yang beribadah dengan sungguh-sungguh sepanjang tahun.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 390)
Asy-Syibliy pernah ditanya, ”Bulan manakah yang lebih utama, Rajab, ataukah Syakban?” Beliau pun menjawab, “Jadilah rabbaniyyin dan janganlah menjadi Syakbaniyyin.” Maksudnya adalah jadilah hamba rabbaniy yang rajin ibadah di setiap bulan sepanjang tahun dan bukan hanya di bulan Syakban saja. Kami (penulis) juga dapat mengatakan, “Jadilah rabbaniyyin dan janganlah menjadi Ramadhaniyyin.” (Lihat Lathaif Al-Ma’arif, 390).
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata bahwa Allah tidak menjadikan batasan waktu untuk beramal bagi seorang mukmin kecuali kematian. Lantas beliau membaca firman Allah Ta’ala,
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu kematian.” (QS. Al-Hijr: 99). Lihat Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 392.
Perhatikanlah perkataan Ibnu Rajab berikut, “Yang sangat bagus adalah mengikutkan ketaatan setelah melakukan ketaatan sebelumnya. Sedangkan yang paling jelek adalah melakukan kejelekan setelah sebelumnya melakukan amalan ketaatan. Ingatlah bahwa satu dosa yang dilakukan setelah bertaubat lebih jelek dari 70 dosa yang dilakukan sebelum bertaubat.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 393).
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Hadirin yang semoga dirahmati Allah, dengan berhasilnya kita melalui tempaan diri di bulan Ramadhan, kita dapat menjadi pribadi yang lebih baik dalam beribadah kepada Allah, dan membawa kebaikan sosial yang lebih baik dalam kehidupan kita.
أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ