KEMERDEKAAN Indonesia ternyata tidak hanya hasil perjuangan para pahlawan nasional. Ada juga peran dari sisi lain, salah satunya Pondok Pesantren Bungkuk di daerah Singosari, Malang, Jawa Timur.
Pondok pesantren ini menjadi satu dari sejumlah tempat yang digunakan untuk latihan para pahlawan pejuang kemerdekaan Indoneia. Di sana para santri dan banyak pejuang digembleng untuk berperang melawan penjajah.
KH Moensif Nachrawi, generasi keempat pendiri Masjid Bungkuk, mengisahkan bagaimana Ponpes Bungkuk dijadikan arena penggemblengan pasukan dan laskar yang akan diberangkatkan ke Surabaya. Mereka berlatih di bawah komando KH Masjkur yang merupakan bagian dari Laskar Hizbullah.
"Singosari ini tempat mengemblengnya, mengebalkan di sini, enggak ada markas tentara, tentara enggak ada. Baru berdiri Oktober, enggak ada waktu itu, yang ada gerilyawan," ucap KH Moensif Nachrawi saat ditemui di kediamannya di Jalan Bungkuk, Singosari, Kabupaten Malang.
Ia masih mengingat betul saat itu banyak gerilyawan, santri, dan para pejuang yang berkumpul di Singosari. Mereka selain dibekali kemampuan berperang, juga dikuatkan untuk kemampuan akhlak dan akidah agar siap gugur berperang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Dirinya masih ingat ketika masih SD, samurai, pedang, dan senjata tajam lainnya menjadi hal yang sering dilihat, bahkan dipegangnya. Perbekalan pertempuran itulah yang menjadikan modal gerilyawan asal Malang dan sekitarnya. Mereka kemudian diberangkatkan ke Porong dari Malang untuk berperang di Surabaya.
"Dibekali berangkatnya nunggu, diangkut lagi ke front. Yang mati enggak pulang, yang masih hidup ya pulang, orang gitu saja," ungkap pria yang juga Penasihat Takmir Masjid Attohiriyah, Bungkuk, Singosari, ini.
Perlu waktu hingga setahun lebih disebut KH Moensif Nachrawi untuk Belanda menaklukkan garis pertahanan pejuang-pejuang Indonesia di daerah Porong. Para pejuang Indonesia ini terus didesak mundur karena kalah persenjataan dari tentara sekutu.
Perlahan namun pasti, tahun 1947 akhirnya tentara sekutu mulai merangsak ke selatan. Bahkan tentara sekutu terus memukul mundur pejuang-pejuang Indonesia hingga daerah Lawang, Kabupaten Malang.
"Belanda merangsak lagi sampai Lawang. Lawang itu bertahan lama karena mau ke selatan itu susah," ungkapnya.
Tidak ingin Malang kembali dikuasai oleh penjajah, para pejuang lantas menebangi seluruh pohon-pohon besar, hingga menutupi akses jalan raya. Alhasil, tentara sekutu sempat kesulitan memasuki Malang, hingga akhirnya memutuskan memutar masuk wilayah Malang.
"Waktu itu dari Lawang dipecah pasukan Belanda, sebagian dari Juanda ada lapangan terbangnya, lapangan terbang Surabaya, pakai pesawat terbang ke Bugis sekarang (bandara) Abdurrahman Saleh, karena menguasai, pakai udara yang dari Lawang itu berangkatnya ke Tretes, terus masuk Pujon," tuturnya.
Di Pujon itulah perlawanan juga dilakukan oleh para gerilyawan dan pejuang Indonesia. Salah satu kisah heroik yang disebut KH Moensif adalah perlawanan dari Abdul Manan Wijaya, seorang santri dari Ponpes Tebuireng Jombang yang lahir di Desa Ngroto, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Sayangnya perlawanan Abdul Manan Wijaya dan pasukannya tak berlangsung lama, mereka kalah perang dari tentara sekutu. Sementara pasukan yang menguasai lapangan terbang berhasil mendarat di lapangan terbang Bugis yang kini menjadi Bandara Abdul Rachman Saleh Malang. Alhasil, perlahan-lahan tentara sekutu mulai masuk Malang melalui Blimbing.
"Masuk lewat Blimbing. Di Blimbing ini ada pertempuran hebat di sana. Tapi akhirnya Blimbing jatuh (ke tentara sekutu). Ketika dikabari (Blimbing jatuh ke tentara sekutu) Kiai Hasyim Asy'ari kaget, akhirnya beliau meninggal saat itu mulai Blimbing jatuh," pungkasnya.
Allahu a'lam.
(Hantoro)