ABU Nawas bertemu tiga orang tuli. Bermula dari ada seorang gembala yang mempunyai masalah dengan pendengarannya alias tuli. Meskipun tidak bisa mendengar sejak lahir, ia tidak pernah mengeluh dengan kekurangannya itu.
Kegiatan sehari-hari pria tuli itu adalah menggembala domba-dombanya di bukit padang rumput yang tidak jauh dari rumahnya.
Suatu hari saat sedang menggembala domba-dombanya, dia merasakan sakit perut. Ia sudah tidak kuat menahannya untuk buang air besar.
Kebetulan ada seseorang yang tidak jauh darinya sedang memotong rumput. Si gembala lalu menghampirinya dan memberikan pesan.
"Hai kawan, tolong jaga domba-dombaku ya, dan tolong awasi jangan sampai ada yang berkeliaran hingga tersesat. Aku akan pulang ke rumah sebentar untuk buang air besar," kata si gembala tersebut seperti dikutip dari kanal YouTube Juha Official.
Ternyata pemotongan rumput itu juga tuli. Dia tidak mendengar apa pun yang dikatakan si gembala. Pria pemotong rumput mengira kalau si gembala mau meminta rumputnya.
Ia pun menjawab, "Enak saja! Mengapa kau tidak mencarinya sendiri. Aku di rumah juga banyak hewan ternak yang harus diberi makan. Sudah sana pergi, jangan ganggu aku!" kata si pemotong rumput sembari menggerakkan tangannya.
Dikarenakan sama-sama tidak bisa mendengar, si gembala mengira gerakan tangan dari pemotong rumput merupakan isyarat bahwa dirinya bersedia dan menyuruhnya cepat pulang.
"Terima kasih kawan, kau benar-benar telah menolongku," kata si gembala.
Ia lantas segera berlari pulang ke rumah. Setelah menuntaskan hajat buang air besar, si gembala kembali menemui pemotong rumput. Si gembala menghitung domba-dombanya dengan cermat dan jumlahnya masih lengkap.
Dalam hati dia bergumam, "Sungguh luar biasa pribadi pemotong rumput itu, ia benar-benar bisa dipercaya. Ia telah menjaga domba-dombaku tanpa mengharap ucapkan terima kasih sama sekali. Sungguh pribadi yang luar biasa."
"Oh iya, bukankah salah satu dombaku ada yang pincang, lebih baik aku berikan kepadanya sebagai rasa terima kasih. Pasti akan menjadi makanan yang lezat untuk keluarganya," ujar si gembala.
Dia lalu memanggil domba tersebut dan menghampiri si pemotong rumput. "Hai kawan, terimalah hadiah dariku, karena engkau telah menjaga domba-dombaku," kata si gembala sambil menunjukkan domba pincangnya.
Melihat hal itu, si pemotong rumput malah menjadi marah. "Dasar kurang ajar. Aku tidak melihat apa pun yang terjadi selama kau pergi. Kenapa kamu malah meminta tanggung jawab atas pincangnya kaki dombamu?"
"Dari tadi aku sibuk memotong rumput dan sama sekali tidak tahu terkait kejadian yang menimpa kaki dombamu. Pergilah! Kalau kau mendekat, aku akan memukulmu," Ancam si pemotong rumput dengan emosi.
Si gembala pun menjadi heran kenapa si pemotong rumput tiba-tiba marah kepadanya. Tidak beberapa lama kemudian lewatlah seseorang dengan menaiki kuda, tapi ternyata dia adalah seorang pencuri kuda yang telinganya juga tuli. Kuda yang dikendarainya adalah hasil curian.
Si gembala lalu berteriak memanggil pria penunggang kuda. "Tuan, tolong katakan kepadaku apa yang diucapkan si pemotong rumput ini. Aku ini tuli tuan, jadi aku tidak mengerti. Kenapa ia menolak pemberianku, malah marah kepadaku," ucap si gembala dengan emosi.
Pria pemotong rumput juga tidak mau kalah. Dia bicara dengan nada teriak kepada si penunggang kuda. "Begini tuan, dari tadi aku sedang memotong rumput dan tidak tahu apa-apa, tapi tiba-tiba dia minta tanggung jawab atas pincangnya kaki domba miliknya. Jelas saja aku marah dituduh seperti itu," balas si pemotong rumput.
Si penunggang kuda kemudian turun dari kudanya dan menghampiri mereka berdua. Dikarenakan juga menderita tuli, ia mengira si pemotong rumput dan gembala sedang memarahinya karena mencuri kudanya.
"Benar kawan, aku memang barusan mencuri kuda, tapi aku sungguh tidak tahu kalau kuda ini adalah milik kalian. Maafkan aku kawan," kata si penunggang kuda.
“Sudah aku katakan aku tidak tahu apa-apa atas pincangnya domba orang ini," teriak si pemotong rumput.
"Hai kawan, suruh dia Jelaskan mengapa menolak pemberianku dan justru marah-marah," teriak si gembala.
"Iya aku mengaku mencuri kuda, tapi aku tuli, jadi aku tidak tahu siapa di antara kalian yang memiliki kuda ini," teriak si penunggang kuda.
Di tengah-tengah keributan yang terjadi, melintaslah Abu Nawas. Di hadapan mereka kala itu Abu Nawas sedang mengalami sakit gigi. Untuk menggerakkan mulutnya saja sakit bukan main, apalagi berbicara.
Ketika melihat kehadiran Abu Nawas, mereka mengira itu adalah seorang sufi yang alim dan sakti. Sebab dari penampilannya, Abu Nawas mengenakan jubah layaknya ulama sufi terpandang.
Si pemotong rumput lalu menghentikan Abu Nawas dengan menarik jubahnya. Ia berkata dengan nada berteriak kepada Abu Nawas untuk meminta keadilan.
"Tuan sufi, tolonglah aku, mereka berdua menuduhku melukai dombanya," kata si pemotong rumput.
Si gembala juga berkata kepada Abu Nawas dengan nada teriak, "Wahai tuan sufi, aku hanya ingin memberikan domba, tapi dia malah memarahiku."
Si pencuri kuda juga ikut-ikutan berteriak, "Tuan sufi, aku akui bersalah telah mencuri kuda mereka, tapi aku tuli jadi tidak bisa mendengar perkataan mereka. Aku tidak tahu siapa sebenarnya pemilik kuda ini," ucap si pencuri kuda.
Mendengar pengaduan mereka dengan nada teriak, membuat sakit gigi Abu Nawas bertambah tidak keruan. Ia hanya bisa menatap tajam penuh amarah ke arah ketiganya.
Mata hitam Abu Nawas menusuk tajam ke mata mereka bertiga secara bergantian. Ketiga orang itu mengira Abu Nawas sedang berusaha keras mencari petunjuk atas kebenaran dari situasi ini.
Mereka bertiga pun mulai takut dengan sorot mata tajam Abu Nawas. Mereka takut kalau-kalau Abu Nawas akan menyihir mereka atau setidaknya mengendalikan kemauan mereka.
Melihat sikap Abu Nawas yang menakutkan itu, si pencuri kuda langsung melompat ke punggung kudanya dan segera memacu kudanya lari kencang-kencang.
Begitu pula dengan si gembala. Ia segera membawa domba-dombanya menjauh dari Abu Nawas.
Sementara si pemotong rumput yang sedari tadi gemetaran, segera mengemasi hasil sabitan rumputnya ke dalam karung dan mengangkatnya di bahu, lalu berlari menjauhi Abu Nawas.
Setelah ketiga orang tersebut berlari karena ketakutan, Abu Nawas lalu melanjutkan perjalanannya. Ia pun berpikir dalam hati, "Kadang-kadang kata-kata tidak berfungsi apa-apa dan tidak terlalu berguna mungkin lebih baik orang tidak perlu banyak bicara."
Allahu a'lam.
(Hantoro)