SPECIAL REPORT: Selfie di Tanah Suci, Syiar atau Riya?

Hantoro, Jurnalis
Minggu 23 Juni 2024 10:44 WIB
Special Report: Kontroversi Selfie di Tanah Suci. (Foto: Okezone)
Share :

KONTROVERSI selfie ternyata menular hingga Tanah Suci Makkah dan Madinah di Arab Saudi. Para jamaah haji atau umrah, termasuk dari Indonesia, tidak ingin melewatkan momen berada di depan bangunan suci Kakbah di Masjidil Haram atau Raudhah di Masjid Nabawi dengan mengabadikannya melalui foto atau video. 

Selfie mudah dilakukan karena hampir di setiap ponsel pintar yang dimiliki jamaah pasti tersedia fitur kamera. Lantas, bagaimana agama Islam memandang fenomena selfie di Tanah Suci ini? Kepala Urusan Agama Dua Masjid Suci Abdulrahman Al Sudais beberapa waktu lalu pernah mengimbau para jamaah jangan sibuk mengambil foto dan video di tempat-tempat suci umat Islam.

"Hormatilah waktu dan tempat suci," kata Syekh Sudais yang juga imam besar Masjidil Haram, seperti dikutip dari laman Gulf News, Sabtu (22/6/2024).

Pasalnya, sering diketahui jamaah haji atau umrah tampak tertarik untuk mengenang kehadiran mereka di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi dengan mengabadikan foto atau video melalui ponselnya. 

Imbauan Kementerian Agama RI 

Dilansir Kemenag.go.id, Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) melalui pers rilis pernah mengimbau seluruh jamaah haji untuk tidak berlebihan dalam mengambil dokumentasi pribadi dalam bentuk foto atau video di depan Kakbah. Alasannya, tindakan tersebut dinilai dapat mengurangi kekhusyukan ibadah diri sendiri dan juga bisa mengganggu jamaah haji lainnya.

"Selfie berlebihan di depan Kakbah, selain akan mengganggu kekhusyukan ibadah, juga mengganggu jamaah lainnya," ungkap Juru Bicara PPIH Pusat Akhmad Fauzin dalam keterangan pers di Media Center Haji (MCH) Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, beberapa waktu lalu.

Lebih lanjut dia menjelaskan larangan keras yang perlu diperhatikan para jamaah di area Masjidil Haram seperti membentangkan spanduk untuk berfoto bersama, swafoto di depan Kabah dengan benda-beda yang menyerupai hewan atau manusia, seperti wayang atau sejenisnya. Bagi jamaah haji yang melanggar aturan tersebut tentunya bisa mendapat sanksi hukum dari otoritas keamanan setempat. Maka itulah, petugas kembali mengingatkan jamaah tetap fokus beribadah di Tanah Suci dan tidak melakukan hal-hal lain secara berlebihan. 

Hukum Selfie di Tanah Suci

Dai muda asal Cirebon Ustadz Ady Kurniawan Al Asyrofi menerangkan pada dasarnya selfie perbuatan yang mubah (boleh) dilakukan. Hanya saja harus khusyuk saat ibadah, artinya tidak boleh ada hal-hal duniawi di dalam tubuh dari kepala sampai kaki baik lahir maupun batin.

"Karena ibadah dilakukan untuk dirinya dan Allah Subhanahu wa Ta'ala, tidak boleh ada aktivitas di luar proses ibadah tersebut, misalnya sholat. Apakah di dalam sholat boleh dilakukan gerakan lain atau aktivitas lain selain sholat? Tentu tidak boleh, karena akan membatalkan sholat tersebut," jelas Ustadz Ady ketika dikonfirmasi Okezone

Dia melanjutkan, jadi jangankan aktivitas fisik, aktivitas duniawi yang di dalam hati dan pikiran saat sholat pun bisa mengganggu kekhusyukan sholat, bahkan bisa lupa yang akhirnya membatalkan sholat atau sholatnya tidak sah. Terlebih lagi, kata dia, saat beribadah umrah ataupun haji.

Maka sejatinya setiap Muslim memfokuskan hati, pikiran, dan fisiknya untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan menyingkirkan hal-hal duniawi selama beribadah umrah ataupun haji. "Adapun jika selfie dilakukan di luar ibadah umrah ataupun haji, maka hukumnya sah-sah saja, karena dalam ilmu fikih itu perbuatan yang mubah (boleh) dilakukan selama tidak bertentangan dengan syariat Islam," tegasnya.

Ustadz Ady memaparkan, selfie bisa disimpan sendiri sebagai kenang-kenangan, maka yang harus jadi perhatian adalah selfie untuk diunggah ke media sosial atau untuk diceritakan dan diperlihatkan kepada orang lain. Di sisi lain, apakah selfie ini dilakukan untuk dakwah atau riya'.

Maka Allah Maha Mengetahui setiap hati manusia. Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam bersabda:

... وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ ». رواه مسلم

Artinya: "... akan tetapi Allah melihat hati dan perbuatan kalian." (HR Muslim) 

Imam An-Nawawi dalam kitab Syarh Muslim menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak memberikan balasan dan tidak menghitung amal seseorang berdasarkan tampilan fisiknya, namun berdasarkan apa yang ada di hatinya.

Sementara niat dalam kitab Al-Furuq Al-Lughawiyah dipahami dengan keinginan sebelum berbuat. Adapun "amal" berarti pekerjaan atau perbuatan. Jika dihubungkan dengan niat, maka amal berarti implementasi dari niat.

Allah Azza wa Jalla memberikan umat manusia potensi untuk melakukan sesuatu, namun keputusan berbuat dan memanfaatkan potensi tersebut diserahkan kepada tiap orang. Ada yang dengan potensi tersebut digunakan untuk keburukan dan kejahatan. Tapi, ada juga yang memanfaatkannya dalam hal-hal positif dan kebaikan.

Ada yang berbuat maksimal, namun banyak pula yang mengabaikan potensi tersebut dengan tidak melakukan satu amal apa pun dalam setiap waktunya. Tapi, ada kalanya umat manusia menampakkan nikmat dari Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagaimana firman-Nya dalam Alquran Surat Ad-Dhuha Ayat 11:

وَاَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

Artinya: "Terhadap nikmat Tuhanmu, nyatakanlah (dengan bersyukur)."

"Yakni tentang kewajiban menceritakan nikmat kepada orang lain. Dengan penjelasan di atas tidak bisa disimpulkan bahwa hukumnya wajib menceritakan segala nikmat yang telah Allah berikan sebagai rasa syukur kepada-Nya," beber Ustadz Ady.

Ulama tafsir Ibnu Asyur dalam tafsirnya menjelaskan kewajiban menceritakan nikmat sebagai bentuk syukur atas nikmat yang diberikan merupakan kewajiban bagi nabi, karena nabi adalah sosok yang ma'sum atau terjaga dari sifat riya'.

Dengan demikian, kewajiban menceritakan nikmat bagi nabi adalah kewajiban.

Adapun bagi umat manusia, terkadang dengan menceritakan nikmat kepada orang lain justru merupakan menjadi riya' dan kesombongan. Terkadang menceritakan nikmat dapat mencabik-cabik perasaan orang lain yang tidak mendapatkan nikmat yang sama.

Nah, di sinilah orang perlu meninjau kembali, antara lebih baik menceritakan nikmat atau tidak menceritakannya.

Dalam pembukaan hadits Arbain karya Imam An-Nawawi, disebutkan sabda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassallam mengenai urgensi niat.

عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال: سمعت رسول صلى الله عليه وسلم قال: إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإنَّمَا لِكُلِّ امْرِىءٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوُلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إلَيْهِ.

Dari Amirul mukminin Abu Hafs Umar bin Khattab radhiyallahu anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam bersabda: "Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, sedangkan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan yang diniatkannya. Maka, barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya kepada dunia yang ingin diraih atau wanita yang ingin dinikahi maka hijrahnya kepada apa yang dia berhijrah kepadanya." (HR Bukhari dan Muslim)

Ustadz Ady mengungkapkan ada beberapa pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini, yaitu (1) Setiap amal yang tidak dilatari niat, maka tidak berkonsekuensi hukum; (2) Setiap ibadah dipersyarati nia; (3) Seorang hanya akan mendapatkan buah dari amal sesuai dengan yang diniatkan sejak awal; (4) Wajib ikhlas beramal hanya untuk Allah semata, diharamkan beramal untuk kepentingan selain Allah (Syekh Abdurrahman, kitab Al-Fawaa'id al-Mustanbathah min al-'Arba'iin al-Nawawiyyah)

Berdasarkan dalil-dalil tersebut sebagai sebuah petunjuk bagi setiap Muslim untuk berbuat sesuatu harus dilandasi dengan niat, apakah niatnya Lillahi Ta'ala atau karena ingin duniawi, misalnya pujian dari makhluk dan sejenisnya. Maka, Allah Maha Mengetahui setiap hati dan perbuatan hamba-Nya.

"Terkait selfie di Makkah-Madinah yang di luar ibadah umrah dan haji, bila seorang Muslim yang beriman, ia akan lebih berhati-hati dalam setiap akan melakukan perbuatan, ia akan melihat niatnya terlebih dahulu, atau ia akan mengondisikan niatnya dulu supaya benar-benar niat karena Allah dalam mensyiarkan ajakan umrah dan haji sehingga dapat memotivasi Muslim lainnya yang belum melakukan ibadah umrah dan haji," kata Ustadz Ady.

"Dan hendaknya seorang Muslim yang beriman bila masih ada niat riya' atau ingin dipuji makhluk dalam upload selfie tersebut maka sebaiknya membatalkan atau menunda untuk upload atau memperlihatkan selfie tersebut sampai niatnya berada pada jalur yang benar yang diridhoi Allah Subhanahu wa Ta'ala," tambahnya.

Wallahu a'lamu bishshowab

(Hantoro)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Muslim lainnya