ANGGOTA Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Ajengan Wawan Gunawan Abdul Wahid mengatakan setelah pulang dari Tanah Suci, jamaah haji di Indonesia kerap mendapat gelar haji di depan nama mereka. Namun, penyematan gelar ini sebenarnya merupakan tradisi yang tidak ada pada zaman Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam.
"Rasulullah sekalipun tidak dipanggil haji. Begitu pula dengan 'Aisyah tidak dipanggil hajah. Setahu saya, tradisi ini hanya terjadi di Asia Tenggara dan beberapa tempat di Afrika," ujar Ajengan Wawan dalam Pengajian Tarjih, Rabu 26 Juni 2024, dikutip dari Muhammadiyah.or.id.
Ia menegaskan bahwa gelar haji sejatinya hanya tradisi yang berkembang di masyarakat. Secara syariat Islam, tidak ada aturan yang dilanggar, sehingga sah-sah saja dilakukan. Namun, ia mengingatkan agar jangan sampai meninggalkan aspek-aspek etika dalam Islam dalam menjalani tradisi ini.
Gelar tersebut bukanlah ukuran dari keberhasilan ibadah haji seseorang. Dirinya menekankan bahwa aspek terpenting setelah menunaikan ibadah haji bukanlah pada penyematan nama haji, melainkan mabrur dalam ibadah haji tersebut.
Kemabruran merupakan tanda bahwa seseorang telah berhasil dan sukses menunaikan ibadah haji secara sempurna dan mendapatkan ridha Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ini yang seharusnya menjadi fokus utama bagi setiap jamaah haji.
Dia melanjutkan, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam, ganjaran bagi Muslim yang meraih haji mabrur tidak lain adalah surga. "Allah menjanjikan surga bagi mereka yang berhasil meraih haji mabrur," jelas Ajengan Wawan.
Dirinya juga menjelaskan ciri lahiriah haji mabrur berdasarkan hadits Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassallam, yaitu "memberi makan dan menyebarkan salam" (اطعام الطعام وافشاء السلام).
Dari hadits ini, Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam seolah mendefinisikan haji mabrur dengan dua hal utama: (1) memberikan makan dan (2) menebarkan perdamaian.
Memberi makan di sini tidak hanya berarti memberikan makanan secara harfiah, tetapi juga melambangkan kepedulian dan kedermawanan kepada sesama. Sementara menyebarkan salam mencerminkan upaya menciptakan perdamaian dan keharmonisan di tengah masyarakat.
Ia berharap para jamaah haji tidak hanya fokus pada gelar yang diperoleh setelah pulang dari Tanah Suci, tetapi juga mengamalkan nilai-nilai haji mabrur dalam kehidupan sehari-hari.
Haji bukan sekadar gelar, tetapi sebuah perjalanan spiritual yang harus tercermin dalam sikap dan perilaku sehari-hari.
Wallahu a'lam bisshawab.
(Hantoro)