Sebelum Islam datang, masyarakat Arab jahiliah juga memiliki kepercayaan serupa. Mereka menganggap menikah di bulan Syawal bisa membawa nasib buruk, karena dalam bahasa Arab kata “Syawal” berarti “menurun” atau “terangkat,” yang secara simbolik dianggap kurang baik untuk pernikahan. (Syarah Nawawi ‘ala Shahih Muslim 9/209)
Namun dalam ajaran Islam, semua keyakinan yang mengaitkan kesialan dengan waktu atau hari tertentu tidak dibenarkan. Nabi Muhammad SAW bersabda:
لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ
“Tidak ada penyakit (menular dengan sendirinya) dan tidak ada kesialan (yang menghentikannya berbuat sesuatu). HR. Muslim
Kata Thiyarah dalam hadits di atas merujuk pada bentuk tathayyur atau kepercayaan terhadap pertanda buruk dari sesuatu. Dalam Islam, keyakinan semacam ini dilarang karena bisa mengarah pada kesyirikan, yaitu meyakini ada kekuatan selain Allah yang dapat membawa nasib buruk. (Syarah Nawawi ‘ala Shahih Muslim 14/219)
Dengan demikian, tidak ada larangan menikah di bulan Muharram atau bulan-bulan lainnya, selama pernikahan dilakukan sesuai syariat dan bukan di masa ihram (haji/umrah), sebagaimana dijelaskan dalam fatwa ulama Mesir berikut:
ومهما يكن من شىء فلا ينبغى التشاؤم بالعقد فى أى يوم ولا فى أى شهر، لا فى شوال ولا فى المحرم ولا فى صفر ولا فى غير ذلك، حيث لم يرد نص يمنع الزواج فى أى وقت من الأوقات ما عدا الإحرام بالحج أو العمرة
“Bagaimanapun juga, tidak boleh ada anggapan kesialan dalam pernikahan yang dilakukan pada hari atau bulan tertentu seperti pada bulan Syawal, Muharram, Shafar, dsb. dimana tidak ada dalil yang mencegah melakukan pernikahan di waktu tersebut. Hal ini berbeda dengan larangan menikah ketika haji atau umrah.” (Fatawa Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah 10/25)