Tsabit menunduk penuh penasaran.
“Syarat apakah itu, Tuan?” jawab Tsabit.
“Syaratku, engkau harus menikahi putriku.” kata lelaki tua pemilik kebun apel itu.
Mendengar hal itu, Tsabit terkejut. Ia bukan siapa-siapa, hanyalah pemuda sederhana. Bagaimana mungkin ia menikahi putri seorang tuan kebun yang terhormat?
Namun, belum ia sempat ragu lebih jauh, pemilik kebun itu menjelaskan,
“Ketahuilah, putriku bukanlah perempuan yang seperti bayanganmu. Ia lumpuh, tuli, bisu, dan buta. Jika engkau ikhlas menikahinya, maka aku akan merelakan apel yang engkau makan.”
Tsabit terdiam lama. Di satu sisi, ia merasa berat menerima syarat itu. Tetapi di sisi lain, ia khawatir apel yang telah masuk ke dalam perutnya menjadi haram dan merusak keberkahan hidupnya.
Setelah merenung cukup lama, ia pun berkata dengan penuh pasrah.
“Jika itu syaratnya, insyaAllah saya terima. Saya akan menikahi putri Tuan.”
Hari pernikahan pun dilangsungkan. Dengan hati bergetar, Tsabit memandang wajah istrinya untuk pertama kali. Alangkah terkejutnya ia, karena ternyata perempuan yang dalam bayangannya buruk rupa itu ternyata adalah seorang gadis yang cantik jelita. Ia tidak bisu, tidak tuli, dan tidak buta seperti yang digambarkan ayahnya.
Tsabit menceritakan keheranannya kepada perempuan itu dan mengapa ayahnya berbohong mengenai dirinya.
Ia menjawab, “Ayahku tidak berbohong. Ia mengatakan bahwa aku lumpuh karena aku tidak pernah keluar rumah. Bisu dari ucapan yang sia-sia. Tuli dari hal-hal yang diharamkan. Dan buta dari segala yang dilarang.” (Abu Sa’id al-Khadimi al-Hanafi, Bariqah Mahmudiyah, [Mathba’ah al-Halabi, 1348 H.], juz 4, hal. 206)