Pandangan serupa juga ditemukan dalam mazhab Hanafi, yang mendefinisikan nikah siri sebagai akad nikah yang tidak disaksikan oleh saksi. Jika saksi hadir dalam akad, maka akad tersebut tidak lagi disebut nikah siri. Al-Kamal Ibnul Himam mengatakan:
وَقَوْلُ الْكَرْخِيِّ: نِكَاحُ السِّرِّ مَا لَمْ يَحْضُرْهُ شُهُودٌ، فَإِذَا حَضَرُوا فَقَدْ أُعْلِنَ
Artinya: “Menurut Al-Karkhi, nikah sirri adalah pernikahan yang tidak dihadiri oleh saksi. Jika saksi hadir, maka pernikahan itu sudah diumumkan.” (Al-Kamal Ibnul Himam, Fathul Qadir, [Beirut, Darul Fikr: 1997], jilid III, halaman 200).
Sementara itu, Mazhab Maliki beranggapan bahwa nikah siri dipahami dengan memenuhi semua syarat dan rukun nikah termasuk para saksi, tetapi informasi akadnya dirahasiakan. Pernikahan semacam ini dihukumi absah dilakukan.
Dalam konteks hukum positif Indonesia, nikah siri dipandang serupa dengan pengertian yang diamini Mazhab Maliki. Meski demikian, perlu ditekankan pentingnya pencatatan pernikahan untuk melindungi hak pasangan dan anak.