Sering terjadinya gempa akhir-akhir ini membuat respons masyarakat terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok menilai gempa ini adalah fenomena alam biasa tanpa perlu disangkut pautkan dengan ajaran agama atau teguran dari Allah SWT.

Sedangkan kelompok kedua yang menyatakan, gempa adalah tindakan Allah untuk menghukum manusia yang lalai dari ajarannya. Tampaknya sulit bagi kedua kelompok ini bertemu dalam satu titik sepakat.
Ditilik secara ilmiah, Indonesia merupakan wilayah rawan gempa sebab berada di wilayah Cincin Api Pasifik. Sabuk Alpide yang melewati Indonesia juga menyumbang potensi gempa.
Sementara itu, posisi Indonesia juga berada tepat di tengah tumbukan lempeng tiga benua, yaitu Pasifik di arah timur, Indo-Australia di arah selatan, dan Eurasia di utara. Satu faktor saja sudah cukup untuk menjadikan suatu kawasan sebagai wilayah rawan gempa, dan kebetulan Indonesia memiliki tiga faktor sekaligus.
Jika melihat fakta ilmiah ini, terlihat bahwa gempa bumi di Indonesia adalah hal wajar dan sama sekali tak berhubungan dengan kejadian apa pun yang dilakukan manusia.
Namun dari sudut pandang agama, gempa bumi terjadi karena kehendak Allah yang sudah tercatat seluruhnya di Lauh Mahfudz. Allah berfirman:
مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍۢ فِي ٱلْأَرْضِ وَلَا فِيْ أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَٰبٍۢ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَآ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٌۭ
"Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah." (QS. Al-Hadid: 22)
Gempa bumi tak mempunyai status khusus yang berbeda dengan seluruh kejadian lainnya. Tak ada bedanya antara gempa bumi dan tersandung, jatuh, pegal-pegal, tertusuk duri dan seterusnya.
Semua peristiwa itu terjadi atas izin Allah (qadar) dan sudah tercatat proses kejadiannya sejak sebelum alam semesta tercipta (qadla’). Ini adalah konteks teologis murni yang letaknya ada dalam hati sebagai bagian dari keimanan seorang Muslim.
Apakah ada keterkaitan antara gempa bumi dengan ulah manusia yang sering maksiat?
Sejatinya Allah mengingatkan hambanya dengan banyak cara, salah satunya adalah gempa bumi ini. Lihat misalnya kisah kaum Nabi Luth yang membangkang hingga mereka mendapat bencana alam hebat sebagaimana digambarkan dalam ayat berikut:
فَلَمَّا جَآءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَٰلِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةًۭ مِّن سِجِّيلٍۢمَّنضُودٍۢ
“Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.” (QS. Hud: 82)
Di beberapa ayat lainnya, Allah juga memerintahkan kita untuk memperhatikan kaum-kaum terdahulu yang berakhir tragis sebab tidak mematuhi ajaran Tuhan. Lihat misalnya:
قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِكُمْ سُنَنٌۭ فَسِيرُوا۟ فِي ٱلْأَرْضِ فَٱنظُرُوا۟ كَيْفَ كَانَ عَٰقِبَةُ ٱلْمُكَذِّبِينَ
"Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; Karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (QS. Ali Imran: 137)
Apakah setiap bencana gempa bumi atau bencana alam lainnya bisa ditafsirkan sebagai teguran Tuhan? Jawabannya dengan tegas adalah tidak!
Seperti dilansir Nu Online, jika bicara soal teguran Tuhan, maka teks-teks agama Islam menegaskan bahwa semua hal bisa menjadi bentuk teguran Tuhan. Sakit, rezeki yang sulit, gagal panen, kematian, dan segala ketidaknyamanan bisa menjadi bentuk teguran Tuhan agar seorang hamba kembali mengingat-Nya. Rasa berat dan enggan untuk beribadah juga bentuk teguran yang paling nyata.
Selain itu, ada juga teguran yang tampak sebagai kenikmatan, misalnya kekayaan, kesuksesan dan umur panjang yang disertai meningkatnya jumlah maksiat. Ini semua adalah teguran paling parah yang diberikan Allah kepada hambanya yang sudah terkunci mata hatinya.
Dalam istilah Islam, teguran semacam ini disebut sebagai istidrâj dan ini banyak disinggung dalam Alquran dan hadits yang menjelaskan kesuksesan orang-orang kafir dan orang-orang zalim di dunia dan bahwa hukuman bagi mereka ditangguhkan hingga mereka mati.
Jadi, jangan gegabah memvonis bahwa korban gempa bumi adalah orang-orang yang mendapat teguran (azab) dari Allah. Vonis semacam ini dilarang sebab hanya Allah yang tahu rahasia di balik setiap kejadian.
Dulu kita bisa tahu bahwa suatu bencana merupakan teguran Tuhan terhadap suatu kaum sebab ada seorang Nabi yang menjelaskannya. Namun di era ketiadaan Nabi seperti sekarang, kita hanya bisa berprasangka (dhann) dan Alquran sudah menegaskan bahwa kebanyakan prasangka itu adalah dosa (QS. Al-Hujurat: 12).
Justru dalam hadits dijelaskan bahwa orang yang tertimba reruntuhan dan tenggelam adalah orang yang mendapat pahala syahid. Nabi Muhammad ﷺBersabda:
الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ: الْمَطْعُوْنُ وَالْمَبْطُوْنُ وَالْغَرِقُ وَصاَحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيْدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ
“Para syahid itu ada lima, yaitu orang yang mati karena wabah pes (tha’un), orang yang mati karena penyakit perut, orang yang mati tenggelam, orang yang meninggal karena tertimpa reruntuhan, dan orang yang gugur di jalan Allah.” (HR. Bukhari-Muslim)
Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti di Aswaja Center Jember, Abdul Wahab Ahmad mengatakan, sikap kita terhadap sebuah musibah harus dipilah menjadi dua. Sikap terhadap diri sendiri dan sikap terhadap orang lain.
"Ketika diri kita sendiri mendapat musibah, apa pun itu mulai yang ringan hingga berat, maka seyogyanya kita introspeksi jangan-jangan itu adalah teguran Tuhan kepada kita sehingga kita bisa berubah menjadi lebih baik dan bersemangat dalam beribadah."
Namun, lanjut Abdul Wahab, ketika orang lain yang mendapatkan musibah, apa pun itu, maka kita harus melihatnya sebagai fenomena alami (sunnatullah) yang terjadi sebab faktor-faktor natural tanpa membumbuinya dengan aneka prasangka yang menyakitkan bagi korban atau keluarganya. Apalagi bila yang terkena musibah bukanlah pelaku maksiat, seperti kebanyakan kasus gempa di Indonesia selama ini.
Dalam hal gempa di Indonesia, kita harus melihat faktor alami penyebab gempa itu apa dan bagaimana cara meminialisasi risiko di masa depan dengan cara-cara yang ilmiah seperti membuat bangunan tahan gempa, penataan pemukiman dan lain sebagainya.
Sebagai umat manusia, kita juga harus membantu saudara-saudara kita yang tertimpa musibah dengan cara apa pun yang kita bisa, minimal mendoakan kebaikan.
"Jangan sampai ada yang gegabah menghubungkan suatu musibah sebagai azab sebab bisa saja para korban itu mendapat pahala syahid dan justru penonton yang tak tertimpa musibah itulah yang terkena azab Allah berupa istidrâj yang harus dibayar mahal kelak di akhirat," ujar Abdul Wahab.
(Dyah Ratna Meta Novia)