Tuntutlah Ilmu sampai ke negeri China. Hadist tersebut meskipun dhaif, dijadikan landasan oleh Filantropi Indonesia (FI) untuk belajar ke China pada 13-16 Agustus guna menemukan formulasi terbaik yang dapat diterapkan dalam memberdayakan umat di tanah air.
Mereka menjalin kemitraan dengan beberapa asosiasi dan lembaga filantropi di China untuk pengembangan real time database dan indeks transparansi lembaga filantropi. Dua instrumen tersebut dinilai sebagai perangkat modern dalam memperkuat transparansi dan akuntabilitas filantropi di berbagai negara. Lantas kenapa harus belajar ke China?
Hamid Abidin, Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia, menjelaskan bahwa China memiliki banyak kesamaan dalam hal kebijakan dan kultur filantropi sehingga ada banyak gagasan dan inisiatif yang bisa diadaptasi. “Tentu melalui penyesuaian dengan kultur dan konteks filantropi Indonesia,” kata Hamid melalui siaran pers yang diterima Okezone, Jumat (16/8/2019).
China dikenal sebagai salah satu negara yang kegiatan filantropinya berkembang pesat dalam sepuluh tahun terakhir. Di negara tirai bambu ini, sektor filantropi baru tumbuh pada tahun 2008 yang dipicu oleh terjadinya gempa bumi dahsyat di wilayah Wenchuan. Bencana nasional itu dinilai sebagai momentum kebangkitan filantropi China yang menggerakkan ribuan inisiatif penggalangan dan penyaluran sumbangan oleh berbagai yayasan, sebuah fenomena yang belum ada sebelumnya.
Hamid menjelaskan, perkembangan Filantropi China mencapai puncaknya pada 2016 seiring dengan diterbitkannya China Charity Law sebagai regulasi yang mendorong dan memfasilitasi perkembangan filantropi di China. Sejak regulasi tersebut dirilis, pertumbuhan lembaga filantropi mengalami kenaikan yang fantastis dengan rata rata pertumbuhan 64,9% per tahun. Sampai tahun 2018 di Cina sudah berdiri lebih dari 800.000 organisasi sosial dan 7.333 di antaranya merupakan yayasan amal/filantropi.
Total aset organisasi filantropi di Tiongkok diperkirakan mencapai RMB 60,4 Milyar dengan perolehan donasi RMB 33,7 M per tahun dan penyaluran hibah mencapai RMB 25,6 Milyar per tahun. Kini beberapa lembaga filantropi China sudah bermetamorfosis menjadi yayasan filantropi global yang tidak hanya memberikan dukungan hibah dan layanan sosial untuk warga China, tapi masyarakat di belahan bumi lainnya.
“Perkembangan filantropi yang cukup fantastis di China bisa jadi inspirasi, model dan bench marking dalam pengembangan filantropi di Indonesia melalui pengembangan regulasi yang kondusif dan instrumen transparansi inovatif,” kata Hamid.
Foundation Transparancy Index, kata Hamid, sudah diakui dan menjadi rujukan bagi lembaga-lembaga filantropi China dan filantropi global sebagai salah satu solusi inovatif dan standar baru dalam mendorong dan meningkatkan transparansi lembaga-lembaga filantropi.
FTI sendiri, ujar Hamid, merupakan sistem data base lembaga filantropi yang dibangun untuk memberikan layanan informasi berbasis online secara realtime kepada publik mengenai lembaga filantropi di China berikut program dan laporan keuangannya. CFC sebagai pengelola FTI mengumpulkan informasi tersebut dari laporan yayasan yang disampaikan di situs organisasinya dan laporan yang disampaikan kepada pemerintah.
Dari informasi-informasi inilah, FTI kemudian melakukan pemeringkatan berdasarkan indikator yang sudah ditetapkan untuk menentukan posisi dan peringkat yayasan tersebut. FTI memiliki 40 indikator transparansi yang dikelompokkan dalam 4 katagori: informasi dasar organisasi, informasi program/proyek, informasi keuangan dan informasi donor. Posisi dan peringkat yayasan di FTI bersifat dinamis bergantung pada seberapa lengkap data yang mereka sampaikan ke publik.
(Muhammad Saifullah )