Matahari merupakan benda angkasa yang sangat panas. Bahkan panas di bagian tengahnya mencapai 20 juta derajat Celcius, luar biasa panasnya bukan.
Ukuran matahari lebih besar daripada bumi hingga 1.300.000 kali lipat. Sedangkan jarak matahari dari bumi sekitar 150 juta kilometer. Oleh sebab itu, sinar yang datang dari matahari menuju ke bumi membutuhkan waktu selama 8 menit.
Sebagaimana dibuktikan oleh sains, di matahari terdapat suatu fenomena yang dinamakan dengan prominensa atau lidah api (mutawahhijat). Fenomena ini terjadi di bagian bawah matahari, di mana suhu panasnya meningkat tajam akibat medan magnet.
Oleh karena itu, terbentuklah lidah api yang menjulur ke atas permukaan matahari kira-kira setinggi 500 ribu kilometer. Lidah api ini adalah sebuah pelita yang menyala-nyala dan menghasilkan cahaya dari dirinya sendiri dan memancarkannya.
Hal yang mengagumkan, para ilmuwan menemukan bahwa perut matahari gelap dan tidak bisa dilihat karena ia memancarkan sinar-sinar tak terlihat, seperti sinar gamma, sinar X, dan sinar ultra violet. Lapisan luar mataharilah yang mengubah sinar-sinar tak terlihat itu menjadi sinar yang bisa dilihat.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika kemudian Alquran mendeskripsikan penanda siang (yaitu matahari) sebagai mubshirah (terang benderang sehingga menyebabkan orang bisa melihat), dalam bentuk aktif.
Dari sinilah Alquran membuat pembedaan yang akurat antara sinar matahari dan cahaya bulan, antara matahari sebagai siraj (pelita) dan bulan sebagai nur (cahaya), sebagaimana di sebutkan dalam ayat-ayat Alquran.
Di antara hal yang perlu diperhatikan, Alquran dalam banyak ayat memperhadapkan kegelapan (zhulumat) dengan cahaya (nur), bukan dengan sinar (dhiya').
Misalnya firman Allah, "Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, dan menjadikan kegelapan dan cahaya. Namun, orang-orang kafir masih mempersekutukan Tuhan mereka dengan sesuatu." (QS Al-An'am: 1).
Ketika Allah mendeskripsikan api, Dia menyebutnya sebagai sinar (dhiya') dan menyebut pancaran sinar tersebut sebagai cahaya (nur). Dia berfirman, "Perumpamaan mereka seperti orang-orang yang menyalakan api. Setelah api itu menyinari sekelilingnya, Allah melenyapkan cahaya (yang menyinari) mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat." (QS Al-Baqarah: 17).
Allah pun mendeskripsikan diri-Nya sebagai cahaya langit dan bumi, dan membuat perumpamaan atas cahaya tersebut sebagai minyak yang bersinar dan memancarkan cahaya ke sekelilingnya.
Allah berfirman,
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Akurasi yang sangat tinggi yang terdapat dalam Alquran ini, yaitu tentang pembedaan antara sinar yang terpancar dari benda pijar yang menyala dan bersinar dari dirinya sendiri dengan cahaya yang dipantulkan oleh benda dingin yang mendapatkan cahayanya dari sinar benda pijar tersebut.
Hal ini belum pernah diketahui manusia kecuali setelah abad ke-19. Padahal, Alquran telah memaparkannya sejak 1.400 tahun yang lalu.
Dalam ayat-ayatnya, Alquran berbicara tentang kegelapan-kegelapan (dalam bentuk jamak) dan cahaya (dalam bentuk tunggal) seakan-akan terdapat banyak kegelapan dan hanya ada sedikit cahaya.
Sains empiris kemudian datang menegaskan bahwa lapisan cahaya yang mengelilingi bumi merupakan suatu lapisan yang sangat tepat sangat tipis, yang ketebalannya tidak lebih dari 200 kilometer. Lapisan cahaya itu pun hanya ada di sekeliling dari bumi yang menghadap matahari.
Adapun sekeliling dari separuh bumi yang tidak menghadap matahari merupakan lapisan gelap yang menyatu dengan kegelapan semesta yang sangat pekat. Sinar matahari sendiri sebetulnya bukan cahaya murni yang berwarna putih yang dinamakan nur (yang memungkinkan manusia untuk bisa melihat).