Emansipasi wanita atau kesetaraan gender takkan diraih jika bukan karena perjuangan pahlawan nasional RA Kartini. Sebelum ada Hari Kartini atau hari emansimasi, wanita biasanya terkungkung dalam keterbelakangan. Contohnya kaum hawa tidak bisa belajar membaca dan menulis seperti yang dilakukan laki-laki.
Lalu setelah emansipasi yang diperjuangkan Kartini berhasil, wanita boleh melakukan apa saja asal masih sesuai norma. Contohnya wanita boleh menjadi wanita karir.
Lalu bagaimana pandangan Islam terhadap wanita karier seperti sekarang ini? Dikutip dari laman Tebuireng pada Selasa (21/4/2020), Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Almara memaparkan hadis riwayat Imam Bukhori di bawah ini:
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ ، حَدَّثَنَا يَحْيَى ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ ، قَالَ : حَدَّثَنِي نَافِعٌ ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ح وَحَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ صَبَّاحٍ ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ زَكَرِيَّاءَ ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ ، عَنْ نَافِعٍ ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ : ” السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ حَقٌّ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِالْمَعْصِيَةِ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ “.
Artinya: “Telah menceritakan kepada kita Musyadad, telah menceritakan kepada kita Yahya, dari Abdillah, Abdillah berkata: telah menceritakan kepada saya Nafi’, dari Ibnu Umar radliyallahu ‘anhuma , dari Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam. Dan telah menceritakan kepada saya Muhammad bis Shobaah, telah menceritakan kepada kita Ismail bin Zakaria, dari Ubaidillah, dari Nafi’, dari Ibni Umar radliyallahu ‘anhuma, dari Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam berkata: Mendengar dan taat (dari istri kepada suami, murid kepada guru, dll) adalah wajib, selama tidak diperintahkan dengan kemaksiatan. Jika diperintahkan dengan kemaksiatan , maka tidak wajib mendengar dan menaati.” Hadis No. 2955.
Berdasarkan hadis di atas, wanita karir sekalipun lebih tinggi prestasinya dibanding pasangan, tetap wajib mendengarkan dan taat perintah suaminya selama itu sesuai syariat agama.
Sementara dalam Kitab Hasiah Jamal juz 4 halaman 509, dijelaskan bahwa seorang Muslimah boleh menjadi wanita karier apabila memenuhi tiga syarat berikut ini:
1. Aman dari fitnah, yakni aman dari hal-hal yang membahayakan dirinya, hartanya, serta aman dari maksiat.
2. Suami miskin atau tidak mampu menafkahi keluarganya.
3. Mendapat izin dari wali/suami jika suami masih mampu memberi nafkah.
Pada hakikatnya wanita bisa mendapatkan gelar sholihah apabila ia mampu melaksanakan kewajibannya, yaitu taat kepada Allah dan Rosul-Nya dan ia mau mendengar, patuh, dan taat kepada suaminya.
Adapun kriteria istri yang sholehah dijelaskan dalam kisah ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menghadapi permasalahan dengan istri-istrinya sampai ia bersumpah tidak akan mencampuri mereka selama sebulan. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
عَسَى رَبُّهُ إِنْ طَلَّقَكُنَّ أَنْ يُبْدِلَهُ أَزْوَاجًا خَيْرًا مِنْكُنَّ مُسْلِمَاتٍ مُؤْمِنَاتٍ قَانِتَاتٍ تآئِبَاتٍ عَابِدَاتٍ سآئِحَاتٍ ثَيِّبَاتٍ وَأَبْكَارًا
“Jika sampai Nabi menceraikan kalian, mudah-mudahan Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik dari kamu, perempuan-perempuan yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertaubat, yang beribadah, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan.”(At-Tahrim:5)
Dalam ayat di atas disebutkan beberapa sifat istri yang shalihah, yaitu:
a. Muslima: Yaitu wanita-wanita yang ikhlas kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tunduk kepada perintah Allah ta’ala dan perintah Rasul-Nya.
b. Mukminat: Yaitu wanita-wanita yang membenarkan perintah dan larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
c. Qanitat: Yauty wanita-wanita yang taat.
d. Taibat: Yaitu wanita-wanita yang selalu bertaubat dari dosa-dosa mereka, selalu kembali kepada perintah (perkara yang ditetapkan) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam walaupun harus meninggalkan apa yang disenangi oleh hawa nafsu mereka.
e. Abidat: Yaitu wanita-wanita yang banyak melakukan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (dengan mentauhidkannya karena semua yang dimaksud dengan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an adalah tauhid, kata Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma).
f. Shoimat: Yaitu wanita-wanita yang berpuasa. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 18/126-127, Tafsir Ibnu Katsir, 8/132)
dengannya seperti puasa, terkecuali bila suaminya mengizinkan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak halal bagi seorang istri berpuasa (sunah) sementara suaminya ada (tidak sedang bepergian) kecuali dengan izinnya”. (HR. Al-Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026).
(Abu Sahma Pane)