Hal ini sudah terbukti secara inderawi atau eksperimen. Sampai-sampai jika ada dua orang yang dulunya berasal dari kampung yang sama, kemudian bertemu lagi di negeri asing, pasti ada kecintaan, kesetiaan dan saling berkasih sayang. Walau dulu di negerinya sendiri tidak saling kenal atau saling terpisah.” (Iqtidha’ Ash Shirothil Mustaqim, 1: 549).
Lalu kapan disebut tasyabbuh? Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Patokan disebut tasyabbuh adalah jika melakukan sesuatu yang menjadi kekhususan orang yang ditiru. Misalnya yang disebut tasyabbuh pada kafir adalah seorang muslim melakukan sesuatu yang menjadi kekhususan orang kafir.
Adapun jika sesuatu sudah tersebar di tengah-tengah kaum muslimin dan tidak jadi kekhasan atau pembeda dengan orang kafir, maka tidak lagi disebut tasyabbuh. Seperti itu tidaklah dihukumi tasyabbuh, namun bisa jadi dinilai haram dari sisi lain.” (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 3: 30).
Hukum tasyabbuh itu bertingkat-tingkat. Tasyabbuh bisa jadi kufur seperti meniru orang musyrik dalam hal istighatsah pada wali penghuni kubur, ngalap berkah.
Tasyabbuh bisa jadi dinilai haram seperti mencukur jenggot dan mengucapkan selamat pada perayaan selain Islam.
Mencukur jenggot termasuk tasyabbuh pada orang kafir yang diharamkan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah lewat, “Pendekkanlah kumis dan biarkanlah (perihalah) jenggot dan selisilah Majusi.” (HR. Muslim no. 260).
Dengarkan Murrotal Al-Qur'an di Okezone.com, Klik Tautan Ini: https://muslim.okezone.com/alquran
(Vitrianda Hilba Siregar)