Abdul Rahman al-Shobaki, yang telah menjadi sukarelawan "Sabeel Maan" bersama kedua anaknya selama enam tahun, menggambarkan kegiatan amal ini sebagai sumber kebanggaannya.
"Sejujurnya, ini adalah perasaan yang tidak bisa saya gambarkan. Saya merasa bangga dan senang menjadi bagian dari kegiatan amal ini. Saya tidak bisa menjelaskan kepada Anda betapa bahagianya saya bekerja selama bulan Ramadan ini. Saya tidak merasa lelah meski saya berpuasa dan telah bekerja keras,” jelas Abdul Rahman al-Shobaki.
Musab al-Katib, seorang sukarelawan lainnya, juga merasakan hal serupa.
"Saya bekerja dan merasa puas karena saya membawa kebahagiaan kepada orang-orang yang membutuhkan. Ada orang yang tidak mampu membeli makanan dan bahkan tidak memiliki makanan sama sekali. Menyiapkan ayam, daging, atau nasi dan mengirimkan makanan ini dianggap perbuatan baik oleh Tuhan,“ jelasnya.
Para sukarelawan "Sabeel Maan" bekerja tanpa kenal lelah. Sebelum pandemi mereka bahkan bekerja nonstop meski tanpa mendapat bayaran.
Seusai salat Subuh, setiap hari para relawan mulai memotong dan menyiapkan 700 ekor ayam dan 800 kilogram beras. Pada sore hari, 14 panci raksasa dengan diameter 1,2 meter akan terlihat menggelegak karena digunakan untuk mengolah nasi dengan bumbu aromatik, yang dilengkapi daging ayam, daging domba atau daging-daging lainnya.
Segala sesuatu dalam kegiatan Sabeel Maan berasal dari sumbangan komunitas lokal, dan beberapa warga asal Maan yang tinggal di luar negeri. Sumbangan mereka beragam, mulai dari sekantong beras, satu ton daging domba atau unta, atau bahkan uang hingga sebesar 3.500 dolar. Bagi mereka mempertahankan tradisi Sabeel Maan seperti memenuhi panggilan Allah untuk berbuat kebajikan.
(Vitrianda Hilba Siregar)