Nikah Misyar tidak ubahnya sama dengan poligami, hanya saja istri terbaru merelakan sebagian haknya, untuk tidak diberikan oleh suaminya. Karena itu, nikah ini sering juga disebut nikah itsar, yang artinya pernikahan, dimana sang istri lebih mendahulukan hak madunya, dari pada hak dirinya.
Nikah misyar sering juga diistilahkan dengan nikah itsar adalah pernikahan yang memenuhi segala rukun dan syaratnya, dilakukan karena suka sama suka, ada walinya, ada saksinya, dan ada maharnya. Hanya saja, sang istri merelakan beberapa haknya tidak dipenuhi oleh suaminya, misalnya hak nafkah, atau hak gilir, atau tempat tinggal. (simak Shahih Fiqhis-Sunnah, 3/158).
Baca Juga: Pernikahan yang Dilarang Menurut Islam, Nomor 3 Nikah Mut'ah Alias Kawin Kontrak (1)
Jadi nikah misyar tidak ubahnya sama dengan poligami. Sebagai contoh, si A (perempuan telah menikah dengan si X (pria). Kemudian karena kebutuhan, si A menikah lagi dengan janda sangat kaya raya, namun agak tua, si Y.
Baca Juga: Nikah Misyar Lagi Trend di Arab Saudi? Ini Pengertiannya
Dengan kesepakatan, si A boleh tidak memberi nafkah lahir kepada si Y. Sehingga nafkah lahir si A, hanya diberikan kepada si X, istri pertamanya. Pernikahan si A dengan si Y dengan kesepakatan semacam ini disebut nikah misyar.
Hukum Nikah Misyar
Ustaz Ammi Nur Baits menjelaskan di masa silam, ada pernikahan model di atas. Dimana masing-masing istri yang memiliki satu suami, tidak mendapatkan jatah gilir yang sama. Ada di antara wanita masa silam, yang hanya mendapatkan jatah gilir bersama suami di siang hari saja, yang sering diistilahkan dengan nahariyat, dari kata nahar, yang artinya siang. Disebut nahariyat (wanita siang), karena dia hanya didatangi sang suami di siang hari.
Sikap istri kedua yang menggugurkan haknya, tidaklah menjadikan pernikahannya menjadi batal atau haram. Meskipun sebagian ulama membencinya, hanya saja tidaklah menyebabkan pernikahan semacam ini menjadi tidak sah, selama syarat dan rukunnya terpenuhi.
Baca Juga: Pernikahan yang Dilarang Islam, Nomor 9 Catatan Penting Bagi Suami
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari jalur Manshur,
عن الحسن، وعطاء، أنهما كانا «لا يريان بأسا بتزويج النهاريات»
Dari Hasan al-Bashri dan Atha bin Abi Rabah, bahwa kedua ulama ini berpendapat bolehnya pernikahan wanita nahariyat. (Mushannaf Ibn Abi Syaibah, 16559).
Beliau juga membawakan riwayat dari Amir as-Sya’bi,
عن عامر الشعبي أنه سئل عن الرجل يكون له امرأة فيتزوج المرأة ، فيشترط لهذه يوماً ولهذه يومين ؟ قال : لا بأس به
Dari Amir as-Sya’bi bahwa beliau ditanya tentang seorang lelaki yang sudah memiliki istri, kemudian dia berpoligami dengan menikahi wanita lain. Kemudian dibuat kesepakatan, untuk istri kedua gilir sehari dan istri pertama dua hari. As-Sya’bi memfatwakan, ”Tidak masalah.” (Mushannaf Ibn Abi Syaibah, 16566).
Melansir laman Konsultasisyariah pada Jumat (9/7/2021) beberapa riwayat di atas, menjadi acuan para ulama kontemporer, dalam memfatwakan tentang nikah misyar. Imam Ibnu Baz pernah mendapatkan pertanyaan tentang nikah misyar sebagai berikut :
قرأت في إحدى الجرائد تحقيقًا عما يسمى زواج المسيار وهذا الزواج هو أن يتزوج الإنسان ثانية أو ثالثة أو رابعة ، وهذه الزوجة يكون عندها ظروف تجبرها على البقاء عند والديها أو أحدهما في بيتها ، فيذهب إليها زوجها في أوقات مختلفة تخضع لظروف كل منهما ، فما حكم الشريعة في مثل هذا الزواج. أفتونا مأجورين ؟.
“Saya pernah membaca di salah satu koran yang di dalamnya terdapat bahasan nikah mis-yaar. Yaitu seorang laki-laki menikah dengan istri kedua, atau ketiga, atau keempat. Namun istri yang dinikahi ini karena kondisi tertentu terpaksa tinggal bersama kedua orang tuanya atau pada salah satunya. Kemudian sang suami datang kepadanya dalam waktu-waktu yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi yang ada pada mereka berdua. Apa hukumnya menurut syari’at Islam bentuk pernikahan seperti ini ? Kami mohon penjelasannya.
Baca Juga: Ada 13 Jenis Pernikahan yang Dilarang dalam Islam (2)
Jawaban beliau:
” لا حرج في ذلك إذا استوفى العقد الشروط المعتبرة شرعاً ، وهي وجود الولي ورضا الزوجين ، وحضور شاهدين عدلين على إجراء العقد ، وسلامة الزوجين من الموانع ؛ لعموم قول النبي صلى الله عليه وسلم : ( أحق ما أوفيتم من الشروط أن توفوا به ما استحللتم به الفروج ) ؛ وقوله صلى الله عليه وسلم : ( المسلمون على شروطهم ) ، فإذا اتفق الزوجان على أن المرأة تبقى عند أهلها ، أو على أن القسم يكون لها نهاراً لا ليلاً ، أو في أيام معينة ، أو ليالي معينة : فلا بأس بذلك ، بشرط إعلان النكاح ، وعدم إخفائه ” .
“Tidak mengapa jika akadnya memenuhi syarat-syarat yang telah disepakati secara syar’i, yaitu adanya wali, keridlaan kedua suami-istri (laki-laki dan wanita) tersebut, adanya dua orang saksi yang ‘adil atas pelaksanaan akad, dan bersihnya calon istri dari larangan-larangan. Bolehnya persyaratan itu berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya syarat yang paling berhak untuk dipenuhi adalah apa yang dengannya kalian menghalalkan farji (yaitu pernikahan)”. Dan juga sabda beliau yang lain : “Orang-orang muslim itu tergantung kepada syarat-syarat yang mereka sepakati”.
Dengarkan Murrotal Al-Qur'an di Okezone.com, Klik Tautan Ini: https://muslim.okezone.com/alquran