Dalam redaksi yang dikutip oleh Agus Sunyoto dalam bukunya “Resolusi Jihad NU dan Perang 4 Hari di Surabaya (2016)” bahkan lebih rinci lagi. “Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja)…”.
Peristiwa ini memang terjadi pasca 17 Agustus 1945, tetapi perjuangan mempertahankan kemerdekaan ini menjadi tonggak keberlangsungan bangsa.
Sangat mungkin berbeda jika yang terjadi, Sekutu datang, kita kalah dalam peperangan, tanpa perlawanan, akan menjadi negara boneka, ataupun masih jadi persemakmuran. Artinya tidak sepenuhnya berdaulat, walau telah dinyatakan merdeka.
3. Taktik Dakwah Memanfaatkan Jepang
KH. Salahuddin Wahid dalam sebuah kesempatan pernah menjelaskan, bahwa saat dijajah Jepang, warga Indonesia banyak memberikan ruang bagi tokoh-tokoh Islam. Bahkan dibentuk badan yang mengurusi keagamaan atau Shumubu yang diminta jadi ketua yaitu KH. Hasyim Asy’ari, tapi sehari-hari yang mengurusinya yaitu putra beliau, KH. A. Wahid Hasyim.
Karena Kiai Hasyim memilih menjaga santrinya untuk membacakan kitab dan ngaji ilmu agama di Tebuireng. Kemudian dari sini banyak muncul tokoh Islam dalam pergerakan menuju kemerdekaan. Itu terjadi pada tahun 1943-1944. Dan kedekatan dengan Jepang ini membuat lahir Laskar Hizbullah dan Pembela Tanah Air (Peta) yang dilatih oleh Jepang.
Ini juga merupakan bentuk ruang-ruang yang disediakan oleh Jepang untuk orang-orang Indonesia atas lobi sejumlah tokoh. KH. Hasyim Asy’ari, Soekarno, dan Supriadi memilih bekerja sama dengan Jepang. Ternyata tidak semua tokoh bangsa saat itu, setuju, salah satunya, yaitu Sutan Sjahrir.
Bahkan ia pernah menyebut mereka bertiga sebagai Anjing-anjing Jepang. Ia tidak tahu padahal ini hanya taktik dakwah. Gus Sholah menyebut hal itu mirip seperti mubalig zaman awal kedatangan Islam, yang tak mungkin frontal melawan Jepang, justru memanfaatkan ruang yang disediakan.
Kelihaian dakwah Kiai Hasyim dan Kiai Wahid terus berlanjut dengan adanya Masyumi sebagai pemersatu Umat Islam Indonesia saat itu. Tokoh-tokoh masyumi sangat berperan dalam perjuangan kemerdekaan, khususnya pada jalur politik dan diplomatis.
Politik memanfaatkan dengan dalih kerjasama oleh tokoh-tokoh ini terbukti memberikan jalan mulus bagi kemerdekaan Indonesia. Bayangkan jika tidak ada piranti-piranti bentukan Jepang itu, tentu akan semakin susah untuk mendapatkan kemerdekaan.