HAL yang membatalkan itikaf di masjid pada 10 hari terakhir bulan Ramadan wajib diketahui kaum Muslimin yang hendak menunaikannya. Jangan sampai hal-hal itu terjadi karena bisa membuat ibadah itikaf di masjid menjadi sia-sia dan gagal meraih lailatul qadar.
Setidaknya ada tujuh hal yang dapat membatalkan itikaf. Apa saja? Berikut ini penjelasan Ustadz Muhammad Mubasysyarum Bih, dewan pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat; seperti dikutip dari nu.or.id:
Baca juga: Masuk Islam, Fitria Yusuf Putri Konglomerat Jusuf Hamka Bangun 1.000 Masjid
1. Gangguan jiwa
Gangguan jiwa parah yang dialami orang gila menjadikannya tidak dapat mengendalikan diri, sehingga dalam kondisi tersebut ia tidak memenuhi kualifikasi orang yang dinyatakan sah itikafnya.
Namun kondisi gila yang dapat membatalkan itikaf adalah ketika disebabkan keteledoran pelakunya, misalnya sengaja mengonsumsi obat yang menjadikannya gila. Bila tidak ada unsur keteledoran, maka tidak membatalkan itikaf yang telah dilakukan asalkan ia tidak dikeluarkan dari masjid, sehingga ketika dalam waktu dekat, ia sembuh kembali, tidak perlu mengulangi niat itikaf, cukup melanjutkan niat itikaf sebelumnya.
2. Ighma atau pingsan
Al-ighma’ didefinisikan dengan:
آفَةٌ فِي الْقَلْبِ أَوِ الدِّمَاغِ تُعَطِّل الْقُوَى الْمُدْرِكَةَ وَالْحَرَكَةَ عَنْ أَفْعَالِهَا مَعَ بَقَاءِ الْعَقْل مَغْلُوبًا
"Penyakit di hati atau otak yang dapat menghilangkan kesadaran dan membuat tidak dapat bergerak (tidak berdaya) serta masih tersisanya akal secara minim." (Jamaah Ulama Kuwait, al-Masu’ah al-Fiqhiyyah, juz 7, halaman 163)
Melihat definisi ini, kata ighma lebih tepat diterjemahkan dengan pingsan (Jawa: semaput), daripada diartikan epilepsi, sebab ighma tidak ada hubungannya sama sekali dengan gangguan saraf, sementara epilepsi berkaitan erat dengan penyakit saraf. Tarafnya ighma masih di bawah gila, sebab gila dapat menghilangkan akal secara total, sedangkan ighma masih menyisakan kesadaran akal meski dalam taraf yang minim.
Sebagaimana gila, pingsan dapat membatalkan i’tikaf bila disebabkan oleh keteloderan, semisal akibat secara sengaja meminum obat yang menyebabkan pingsan. Jika tidak demikian, i’tikafnya yang sudah dijalani tetap sah dengan catatan ia tetap berada di masjid. Ketika ia kembali siuman saat masih berada di masjid, tidak perlu mengulangi niat i’tikaf. Perbedaannya dengan persoalan gila adalah saat kondisi gila, tidak terhitung pahala i’tikafnya, sebab pelakunya tidak sah menjalani i’tikaf, berbeda dalam kondisi pingsan, tetap dihitung pahala i’tikafnya, sebab i’tikaf tetap sah dilakukan dalam kondisi pingsan.
Syekh Khathib al-Syarbini menjelaskan:
(وَلَوْ طَرَأَ جُنُونٌ أَوْ إغْمَاءٌ) عَلَى الْمُعْتَكِفِ (لَمْ يَبْطُلْ مَا مَضَى) مِنْ اعْتِكَافِهِ الْمُتَتَابِعِ (إنْ لَمْ يُخْرَجْ) بِالْبِنَاءِ لِلْمَفْعُولِ مِنْ الْمَسْجِدِ؛ لِأَنَّهُ مَعْذُورٌ بِمَا عَرَضَ لَهُ ...إلى أن قال.....أَمَّا لَوْ طَرَأَ ذَلِكَ بِسَبَبٍ لَا يُعْذَرُ فِيهِ كَالسُّكْرِ فَإِنَّهُ يَنْقَطِعُ اعْتِكَافُهُ كَمَا نَقَلَهُ فِي الْكِفَايَةِ عَنْ الْبَنْدَنِيجِيِّ فِي الْجُنُونِ، وَبَحَثَهُ الْأَذْرَعِيُّ فِي الْإِغْمَاءِ
"Bila baru datang gila atau pingsan atas orang yang beri’tikaf, maka tidak batal i’tikaf yang telah lewat yang dilakukan secara berkelanjutan, bila ia tidak dikeluarkan dari masjid, karena dimaklumi atas kondisi baru datang yang dialami. Adapun jika hal tersebut terjadi dengan sebab yang tidak dimaklumi, seperti mabuk, maka terputus i’tikafnya seperti yang dikutip Imam Ibnu Rif’ah dalam kitab al-Kifayah dari al-Bandaniji dalam persoalan gila, dan dibahas oleh Imam al-Adzra’i dalam kasus pingsan.” (Syekh Khathib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 2, halaman 196)
Syekh Muhammad al-Ramli menjelaskan:
ـ (وَيُحْسَبُ زَمَنُ الْإِغْمَاءِ مِنْ الِاعْتِكَافِ) الْمُتَتَابِعِ كَمَا فِي الصَّائِمِ إذَا أُغْمِيَ عَلَيْهِ بَعْضَ النَّهَارِ (دُونَ) زَمَنِ (الْجُنُونِ) فَلَا يُحْسَبُ مِنْهُ لِأَنَّ الْعِبَادَةَ الْبَدَنِيَّةَ لَا تَصِحُّ مِنْهُ
"Dan dihitung masa pingsan dari i’tikaf yang berkelanjutan seperti orang puasa yang pingsan di sebagian siang, bukan masa gila, maka tidak terhitung darinya, sebab ibadah badan tidak sah dilakukan darinya." (Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, juz 3, halaman 225)
Baca juga: 7 Hal yang Meruntuhkan Pahala Puasa, Nomor 1 Tidak Sadar Sering Dilakukan
3. Mabuk
Orang mabuk bukan tergolong orang yang sah menjalani ibadah i’tikaf, sebagaimana ibadah-ibadah lain yang membutuhkan niat. Ketika di pertengahan i’tikaf kondisi mabuk melanda, i’tikafnya batal, sehingga bila pelakunya kembali sadar, wajib memulai niat i’tikaf kembali, meski ia masih berada di dalam masjid.
Seperti gila dan pingsan, ketentuan ini berlaku dalam konteks mabuk yang disengaja (teledor). Bila tidak disengaja, semisal tanpa sadar mengonsumsi makanan atau minuman yang memabukan, maka tidak membatalkan i’tikaf yang telah dilakukan.