MUDIK menjadi tradisi masyarakat Indonesia saat memasuki perayaan hari Raya. Tak terkecuali hari Raya Idul Fitri. Jumlah pemudik pada Lebaran tahun ini diprediksi mencapai 123,8 juta orang. Tentu saja ada kemungkinan terjadi kemacetan di beberapa titik jalur mudik baik di Jawa maupun Luar Jawa.
Tak sedikit umat Muslim, pada saat jam sholat fardhu kesulitan untuk menunaikannya. Apalagi bagi mereka yang mengenakan transporasi umum, mau tak mau harus mengikuti jam pemberhentian transportasi tersebut.
BACA JUGA:
Lalu apakah boleh sholat di dalam kendaraan saat menjalani mudik? Dikutip dari laman Lirboyo, apabila seseorang tidak memungkinkan untuk menepi dan mencari tempat sholat maka ia wajib sholat semampunya (li hurmatil waqti) di dalam kendaraan.
Imam an-Nawawi menjelaskan dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab:
وَلَوْ حَضَرَتْ الصَّلَاةُ الْمَكْتُوبَةُ وَهُمْ سَائِرُونَ وَخَافَ لَوْ نَزَلَ لِيُصَلِّيَهَا عَلَى الْأَرْضِ إلَى الْقِبْلَةِ انْقِطَاعًا عَنْ رُفْقَتِهِ أَوْ خَافَ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ لَمْ يَجُزْ تَرْكُ الصَّلَاةِ وَإِخْرَاجُهَا عَنْ وَقْتِهَا بَلْ يُصَلِّيهَا عَلَى الدَّابَّةِ لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ وَتَجِبُ الْإِعَادَةُ لِأَنَّهُ عُذْرٌ نَادِرٌ
Artinya: "Ketika waktu salat wajib sudah tiba namun seseorang berada dalam perjalanan, dan apabila ia turun untuk melakukan salat (secara sempurna) dengan menghadap kiblat sehingga khawatir akan tertinggal dari rombongannya atau khawatir terhadap dirinya maupun hartanya, maka tidak boleh baginya untuk meninggalkan salat dan tidak melaksanakan salat pada waktunya. Akan tetapi ia berkewajiban salat di atas kendaraan untuk menghormati waktu serta wajib mengulangi salat karena hal itu tergolong udzur yang tergolong jarang.” (An-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, III/242).
BACA JUGA:
Sholat di dalam kendaraan sering kali tidak bisa dilakukan secara sempurna, baik dari segi arah kiblat, posisi tubuh atau bahkan alat bersuci . Maka yang harus dilakukan ialah melakukan dengan semampunya, baik hanya dengan duduk atau isyarat, menghadap kiblat atau pun tidak, dalam keadaan suci atau tidak. Semuanya dilakukan semampunya namun masih memiliki kewajiban mengulangi salat (i’adah) setelah selesai dari perjalanan tersebut. (As-Syafi’i, al-Umm, I/98).