Ia masih mengingat betul saat itu banyak gerilyawan, santri, dan para pejuang yang berkumpul di Singosari. Mereka selain dibekali kemampuan berperang, juga dikuatkan untuk kemampuan akhlak dan akidah agar siap gugur berperang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Dirinya masih ingat ketika masih SD, samurai, pedang, dan senjata tajam lainnya menjadi hal yang sering dilihat, bahkan dipegangnya. Perbekalan pertempuran itulah yang menjadikan modal gerilyawan asal Malang dan sekitarnya. Mereka kemudian diberangkatkan ke Porong dari Malang untuk berperang di Surabaya.
"Dibekali berangkatnya nunggu, diangkut lagi ke front. Yang mati enggak pulang, yang masih hidup ya pulang, orang gitu saja," ungkap pria yang juga Penasihat Takmir Masjid Attohiriyah, Bungkuk, Singosari, ini.
Perlu waktu hingga setahun lebih disebut KH Moensif Nachrawi untuk Belanda menaklukkan garis pertahanan pejuang-pejuang Indonesia di daerah Porong. Para pejuang Indonesia ini terus didesak mundur karena kalah persenjataan dari tentara sekutu.