SUATU hari rakyat berkumpul di istana Baginda Raja sambil berteriak-teriak menuntut Abu Nuwas ditangkap. Mereka protes terkait baliho raksasa milik Abu Nuwas yang dipasang di depan rumahnya. Balido itu bertuliskan, "Dijual Cepat: Matahari Baghdad; Siapa Cepat Dapat Bonus Anak Onta."
Penduduk yang kasak-kusuk di depan istana itu panik matahari Baghdad dijual. Bagaimana mungkin mereka bisa hidup berlama-lama di kolong langit Baghdad tanpa matahari?
Jika pindah ke Zakhu, mereka khawatir daerah ini tertinggal, infrastruktur di sana kurang canggih dibanding infrastruktur di Baghdad. Pindah ke Bakhtaran enak, tidak jauh dari Baghdad, tapi bahasa penduduk di sana sulit dipelajari.
Pokoknya pindah ke luar Baghdad adalah masalah. Sementara bertahan di Baghdad jika tanpa matahari juga bukan perkara gampang.
"Abu Nawas, antum serius mau menjual matahari?" tanya Baginda Raja sambil mengamati massa yang terus membeludak di depan istananya, dikutip dari laman Laduni.
"Benar, Baginda, supaya kita bisa ikut cara mereka menggunakan otak."
"Maksud antum?" tanya Baginda Raja lagi dengan nada kaget.
"Begini, Baginda, apakah antum senang infrastruktur di Baghdad terbangun hebat di zaman Baginda? Baginda bangga bisa menjadi teladan buat rakyat bahwa selama menjabat sebagai khalifah Baginda tidak korupsi? Baginda senang tidak mempertontonkan keserakahan dengan menguasai ratusan ribu hektare padang pasir, padahal Baginda bisa melakukannya dengan kekuasaan yang sekarang Baginda genggam?"
"Abu Nuwas, coba ke inti masalah!"
"Jika Baginda turun dan tanya massa yang sekarang berdemonstrasi itu, ketahuilah bahwa mereka akan menjawab buat apa bangun infrastruktur, infrastruktur tidak bisa dimakan! Jadi, jalan-jalan mulus yang Baginda bangun selama ini, puluhan bendungan yang baginda banggakan, lapangan terbang, rel kereta api di Khorramabad, pasar-pasar di Kirkuk, itu semua percuma, tidak bisa dimakan!"
Baginda Raja Khalifah Harun Al-Rasyid pun terdiam.
"Baginda bangga tidak korupsi? Anak Baginda jual pisang goreng? Itu malah membuat mereka marah dan cemburu. Buat mereka, Baginda mestinya korupsi agar mereka tidak repot-repot lagi bikin isu tidak masuk akal, misalnya Baginda keturunan Mongolia, Baginda memusuhi ulama, Baginda membiarkan partai yang sudah dilarang tumbuh lagi. Wah, pokoknya banyak Baginda."
"Lalu apa hubungannya dengan menjual matahari?"
Dengan pelan-pelan Abu Nuwas kemudian menjelaskan bahwa apa yang dianggap Baginda Raja sebagai prestasi nasional tapi justru dianggap pemborosan serta membebani negara adalah karena mereka terbiasa melihat semua prestasi yang ada di ruang gelap.
Di ruang gelap, gadis cantik tidak terlihat, sebatang emas bisa dianggap besi. Apalagi jika cara melihatnya sambil bergelantungan.
"Tapi, kalaupun mata mereka tidak melihat di ruang gelap, bukankah telinga mereka mendengar, hati mereka terbuka? Bagaimana mungkin mereka menuduhku memusuhi ulama padahal wakilku sekarang adalah ulama besar? Jika pun mereka tidak suka aku, bukankah kepada mereka sekarang aku sodorkan ulama yang dulu mereka klaim mereka bela? Mengapa sekarang mereka tinggalkan?"
"Baginda, itulah enaknya melihat dunia di ruang gelap sambil terbalik. Kita bisa menikmati apa yang mereka nikmati selama ini. Baginda tidak capek berpikir rasional?"
Baginda Raja Khalifah Harun Al-Rasyid kembali terdiam tidak mengerti penjelasan Abu Nawas.
"Percayalah, Baginda, hanya dengan melihat segala sesuatu di kegelapan, Baginda akan paham mengapa selama ini mereka melihat infrastruktur megah, pemerataan pembangunan di daerah tertinggal. Semuanya sama sekali tidak berguna karena tak bisa dimakan. Mohon jangan katakana: 'Infrastruktur memang tidak bisa dimakan, tapi dengan infrastruktur kita makin mudah cari makan.' Itu cara berpikir rasional dan normal, paduka."
Massa di luar istana makin membeludak, tapi Baginda Raja kali ini diam saja. Dia memberi isyarat membenarkan Abu Nuwas.
"Jadi, boleh saya jual matahari?"
Besok Baghdad gelap. Banyak rakyat bergelantungan. Aspal di jalan terlihat ketan.
Wallahu a'lam.
(Hantoro)