Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Apakah Harus Membatalkan Puasa Syawal saat Disuguhi Makanan ketika Bertamu?

Hantoro , Jurnalis-Rabu, 17 April 2024 |19:17 WIB
Apakah Harus Membatalkan Puasa Syawal saat Disuguhi Makanan ketika Bertamu?
Ilustrasi hukum membatalkan puasa Syawal karena disuguhi makanan saat bertamu. (Foto: Freepik)
A
A
A

APAKAH harus membatalkan puasa Syawal saat disuguhi makanan ketika bertamu? Dai muda asal Yogyakarta Ustadz Ammi Nur Baits ST BA menjelaskan, berbeda dengan puasa wajib seperti Ramadhan, seseorang dibolehkan membatalkannya puasa sunnah sekalipun tidak ada udzur syari. 

Hanya saja, sangat dianjurkan bagi orang yang puasa sunnah, misalnya puasa Syawal, untuk tidak membatalkannya, terutama puasa sunnah yang menjadi kebiasaannya. Sebab Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُم

"Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Ar-Rasul, dan janganlah kalian membatalkan amal kalian." (QS Muhammad: 33) 

Dikutip dari Konsultasisyariah.com, di antara dalil yang menunjukkan bolehnya membatalkan puasa sunnah adalah:

1. Dari Ummu Hani' radhiyallahu 'anha, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

الصَّائِمُ الْمُتَطَوِّعُ أَمِيرُ نَفْسِهِ، إِنْ شَاءَ صَامَ، وَإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ

"Orang yang melakukan puasa sunnah, menjadi penentu dirinya. Jika ingin melanjutkan, dia bisa melanjutkan, dan jika dia ingin membatalkan, diperbolehkan." (HR Ahmad nomor 26893, Turmudzi: 732, dan dishahihkan Syekh Al Albani) 

Info grafis keutamaan puasa Syawal. (Foto: Okezone)

2. Setelah puasa Ramadhan diwajibkan, dan puasa 'Asyura tidak lagi wajib, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengumumkan kepada sahabat bahwa mereka boleh puasa dan boleh membatalkannya.

Dari Muawiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu 'anhu, beliau mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

هَذَا يَوْمُ عَاشُورَاءَ وَلَمْ يَكْتُبِ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ، وَأَنَا صَائِمٌ، فَمَنْ شَاءَ، فَلْيَصُمْ وَمَنْ شَاءَ، فَلْيُفْطِرْ

"Ini hari 'Asyura, Allah tidak mewajibkan puasa untuk kalian. Hanya saja aku puasa. Karena itu, siapa yang ingin puasa, dipersilakan, dan siapa yang ingin membatalkan, dipersilakan." (HR Bukhari nomor 2003) 

3. Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bertanya kepada beliau pada suatu hari, "Hai Aisyah, apakah kamu memiliki makanan?"

"Wahai Rasulullah, kita tidak memiliki makanan apa pun," jawab Aisyah.

"Jika demikian, aku akan puasa," jawab Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Lalu beliau keluar untuk keperluannya. Tidak lama, datang sekelompok orang membawa hadiah. Setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kembali, Aisyah menyampaikan kepada suaminya, "Wahai Rasulullah, tadi ada sekelompok orang yang datang dan memberi hadiah. Aku telah menyimpannya untuk Anda."

"Apa itu?" tanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Itu hais," jawab Aisyah. (hais: kurma yang diaduk dengan susu dan keju).

Setelah Aisyah menyuguhkannya, beliau pun memakannya. (HR Muslim nomor 1154) 

Apakah Harus Membatalkan Puasa Syawal saat Disuguhi Makanan?

Jika yang dilakukan adalah puasa wajib, seperti puasa nadzar atau puasa qadha Ramadhan, maka tidak boleh dibatalkan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan orang yang diundang acara makan-makan agar dia datang, meskipun tidak makan.

Dari Jabir bin Abdillah radliallahu anhuma, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى طَعَامٍ، فَلْيُجِبْ، فَإِنْ شَاءَ طَعِمَ، وَإِنْ شَاءَ تَرَكَ

"Jika kalian diundang acara makan-makan, maka hadirilah. Jika mau, dia makan. Jika tidak, maka boleh tidak makan." (HR Muslim nomor 1430)

"Artinya, yang wajib dilakukan adalah menghadiri undangan. Sementara untuk makannya, tidak ada kewajiban. Sehingga undangan makan bukan udzur yang membolehkan seseorang untuk membatalkan puasa wajibnya," jelas Ustadz Ammi.

"Sementara untuk puasa sunnah, dia tidak harus membatalkannya. Bahkan tetap dibolehkan untuk mempertahankan puasanya," imbuhnya.

Di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah:

1. Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا دُعِيَ أحَدُكُمْ إِلَى طَعَامٍ وَهُوَ صَائِمٌ فَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ

"Apabila kalian diundang untuk makan-makan, sementara kalian sedang puasa, maka sampaikanlah: Saya sedang puasa." (HR Muslim nomor 1150)

2. Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا دُعِىَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ وَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ

"Jika kalian diundang acara makan-makan, hadirilah. Jika sedang berpuasa maka doakanlah dan jika tidak puasa maka makanlah." (HR Muslim nomor 3593)

"Termasuk orang yang bertamu, dia dibolehkan untuk tetap mempertahankan puasa sunnahnya ketika disuguhi," papar Ustadz Ammi.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah datang ke rumah ibunya, Ummu Sulaim radhiyallahu 'anha. Beliau pun menyuguhi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan kurma dan mentega. Beliau bersabda:

أعِيدُوا سَمْنَكُمْ فِي سِقَائِهِ، وَتَمْرَكُمْ فِي وِعَائِهِ، فَإِنِّي صَائِمٌ

"Kembalikan mentega dan kurma kalian di wadahnya, karena aku puasa." (HR Bukhari nomor 1982) 

Dianjurkan Mendoakan Tuan Rumah

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ، فَلْيُجِبْ، فَإِنْ كَانَ صَائِمًا، فَلْيُصَلِّ، وَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا، فَلْيَطْعَمْ

"Apabila kalian diundang, penuhi undangan itu. Jika kalian puasa, 'sholatlah.' Dan jika kalian tidak puasa, makanlah." (HR Muslim nomor 1431)

Imam An-Nawawi menyabutkan perbedaan pendapat ulama berbeda tentang makna kata "sholat" dalam hadits tersebut.

وقيل المراد الصلاة الشرعية بالركوع والسجود أي يشتغل بالصلاة ليحصل له فضلها ولتبرك أهل المكان والحاضرين

"Sebagian ulama berpendapat, makna kata sholat dalam hadits ini adalah mengerjakan ibadah sholat ada rukuk dan sujudnya. Artinya, orang ini mengerjakan sholat di rumah yang mengundang, sehingga dia mendapat keutamaan sholat dan pengundang berikut hadirin mendapatkan keberkahan."

قال الجمهور معناه فليدع لأهل الطعام بالمغفرة والبركة ونحو ذلك وأصل الصلاة في اللغة الدعاء

"Sementara mayoritas ulama berpendapat, makna sholat dalam hadits itu adalah mendoakan orang yang mengundang dengan doa ampunan atau keberkahan atau semacamnya. Dan makna bahasa kata sholat adalah doa." (Syarh Shahih Muslim, An-Nawawi, 9/236)

"Pendapat mayoritas ulama dalam hal ini, lebih mendekati kebenaran," pungkas Ustadz Ammi. Wallahu a'lam bisshawab

(Hantoro)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita muslim lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement