INI amalan sunnah ketika bermalam di Mudzalifah untuk jamaah haji 2024. Ulama besar Arab Saudi Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz pernah menyatakan sunnah dalam mabit di Muzdalifah adalah tidak meninggalkan Muzdalifah melainkan setelah Sholat Subuh dan setelah langit menguning sebelum matahari terbit.
Dilansir Almanhaj.or.id, dijelaskan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam Sholat Subuh di Muzdalifah dan berdzikir setelah sholat, lalu setelah langit menguning beliau bertolak manuju ke Mina dengan bertalbiyah.
Tetapi bagi orang-orang yang lemah, seperti wanita dan orang-orang tua, diperbolehkan meninggalkan Muzdalifah pada tengah malam kedua. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan keringanan kepada mereka untuk hal tersebut.
Adapun orang-orang yang kuat, maka yang sunnah bagi mereka adalah tetap di Muzdalifah hingga Sholat Subuh dan banyak dzikir setelah sholat kemudian kemudian bertolak menuju Mina sebelum matahari terbit.
Ketika berdoa di Muzdalifah disunnahkan mengangkat kedua tangan seraya menghadap kiblat seperti ketika di Arafah, dan bahwa kawasan Muzdalifah adalah tempat mabit.
Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz menerangkan, menurut pendapat yang shahih, bermalam atau mabit di Muzdalifah bagi jamaah haji adalah wajib. Tapi sebagian ulama mengatakan mabit di Muzdalifah sebagai rukun haji, dan sebagian lain mengatakan sunnah.
Adapun yang benar dari pendapat tersebut, jelas Syekh Abdul Aziz, mabit di Muzdalifah adalah wajib. Jadi, jamaah haji yang meninggalkannya wajib membayar dam atau denda.
Dihimpun dari laman Rumaysho, dibeberkan alasan wajibnya mabit di Muzdalifah karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukannya. Begitu pula Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan berdzikir di Masy'aril Haram (Muzdalifah) dalam ayat:
فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ
"Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy'aril Haram (Muzdalifah)." (QS Al Baqarah: 198)
Dalam hadits Ibnu 'Abbas, beliau berkata:
أَنَا مِمَّنْ قَدَّمَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – لَيْلَةَ الْمُزْدَلِفَةِ فِى ضَعَفَةِ أَهْلِهِ
"Aku adalah di antara orang yang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulukan pada malam Muzdalifah karena kondisi lemah keluarganya." (HR Bukhari nomor 1678 dan Muslim: 1295)
Mabit di Muzdalifah termasuk wajib haji. Jika ditinggalkan tanpa ada uzur, maka ada kewajiban dam. Namun kalau meninggalkannya karena ada uzur, maka tidak ada dam.
Imam Nawawi rahimahullah dalam kitab Al Majmu' (8: 136) berkata, "Wajib menunaikan dam bagi yang meninggalkan mabit (di Muzdalifah) jika kita katakan bahwa mabit di sana adalah wajib. Dam di sini ditunaikan bagi orang yang meninggalkannya tanpa adanya uzur. Adapun yang mengambil wukuf di Arafah hingga malam hari nahr (malam 10 Dzulhijjah), ia sibuk dengan wukufnya sampai meninggalkan mabit di Muzdalifah, maka tidak ada kewajiban apa-apa untuknya. Hal inilah yang disepakati ulama Syafi'iyah."
Jadi barang siapa yang tidak mampu masuk Muzdalifah hingga terbit matahari (keesokan harinya) karena jalanan macet (misalnya) dan sulitnya bergerak, juga tidak ada cara lain untuk pergi ke sana (seperti dengan berjalan kaki) karena khawatir pada diri, keluarga dan harta, maka ia tidak dikenai kewajiban dam karena adanya uzur. Demikian fatwa dari Syekh Muhammad bin Sholeh Al 'Utsaimin dan Al Lajnah Ad-Daimah (Lihat An-Nawazil fil Hajj, 407–408).
Yang disebut telah melakukan mabit di Muzdalifah adalah bila telah bermalam di sebagian besar malam, bukan hanya selama separuh malam atau kurang dari itu. Di antara dalilnya adalah di mana Asma' binti Abi Bakr mabit di Muzdalifah hingga bulan hilang, yaitu sekitar sepertiga malam terakhir dan bukan pada pertengahan malam. Dan juga seseorang dinamakan bermalam jika ia bermalam hingga waktu subuh atau hingga sebagian besar malam ia lewati (Lihat An-Nawazil fil Hajj, 409-410).
Dari penjelasan ini, jika bus jamaah haji hanya melewati Muzdalifah tanpa diam hingga sebagian besar malam dan tanpa adanya uzur, maka ia berarti meninggalkan mabit di Muzdalifah hingga sebagian besar malam dan wajib membayar dam (Lihat An-Nawazil fil Hajj, 416–417).
Wallahu a'lam bisshawab.
(Hantoro)