APAKAH perbuatan merusak sistem hukum termasuk dosa besar? Ternyata perusakan tersebut perbuatan ghulul atau korupsi. Demikian seperti dikutip dari Muhammadiyah.or.id.
Menurut perspektif hukum Islam, mendefinisikan korupsi secara tepat seperti dalam istilah modern mungkin terasa sulit. Hal ini karena istilah "korupsi" merupakan konsep kontemporer yang tidak memiliki padanan langsung dalam khazanah fikih atau hukum Islam klasik.
Meski begitu, korupsi sebagai bentuk kecurangan dalam interaksi sosial memiliki kemiripan dengan beberapa tindakan curang yang dilarang dalam hukum Islam.
Salah satu terminologi yang sering dikaitkan dengan korupsi adalah ghulul, yang merujuk pada pengkhianatan atas amanat, terutama dalam konteks harta yang seharusnya dijaga.
Ibnu Qutaybah menjelaskan bahwa tindakan ghulul disebut demikian karena orang yang melakukan pengkhianatan tersebut menyembunyikan hasil curiannya di antara harta miliknya (Al-Zarqani, t.t).
Hal itu ditegaskan dalam Alquran Surat Ali Imran Ayat 161: "Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya."
Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam juga menjelaskan konsep ghulul dalam beberapa bentuk, termasuk yang mengganggu beroperasinya sistem hukum.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid Al-Juhani, diceritakan tentang seorang Arab pedalaman yang meminta Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassallam memberikan keputusan hukum atas anaknya yang berbuat mesum dengan istri orang lain.
Meski hukum syariat mengharuskan anak tersebut dicambuk dan diasingkan, sang ayah coba menyogok dengan 100 kambing dan seorang sahaya perempuan agar anaknya tidak dihukum.