Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Sejarah Rabu Wekasan dan Tradisi yang Biasa Dikerjakan

Hantoro , Jurnalis-Rabu, 28 Agustus 2024 |09:38 WIB
Sejarah Rabu Wekasan dan Tradisi yang Biasa Dikerjakan
Ilustrasi sejarah rabu wekasan dan tradisi yang biasa dilakukan. (Foto: Freepik)
A
A
A

SEJARAH rabu wekasan dan tradisi yang biasa dikerjakan dibahas dalam artikel berikut ini. Rabu wekasan adalah salah satu kebiasaan yang sering diperingati sebagian orang di Indonesia.

Dikutip dari laman Kemdikbud, upacara rebo pungkasan atau biasa disebut rabu wekasan merupakan tradisi yang diadakan pada hari Rabu terakhir pada bulan Safar. Ada tiga versi sejarah rabu wekasan.

Versi pertama, upacara rabu wekasan sudah ada sejak tahun 1784 dan sampai sekarang masih tetap dilakukan. Ketika itu hidup seorang kiai bemama Mbah Faqih Usman atau dikenal juga dengan Kiai Wonokromo Pertama atau Kiai Welit. Konon kabarnya Kiai Welit memiliki kelebihan ilmu yang sangat baik di bidang agama maupun dalam penyembuhan penyakit.

Saat itu masyarakat Wonokromo meyakini bahwa Mbah Faqih Usman mampu mengobati penyakit. Metode yang digunakan adalah dengan cara disuwuk, yakni dibacakan ayat-ayat Alquran pada segelas air yang kemudian diminumkan kepada pasiennya sehingga bisa sembuh. 

Kemampuan Mbah Kiai Faqih ini terdengar oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I. Untuk membuktikan kabar tersebut, Sri Sultan mengutus empat prajuritnya untuk membawa Mbah Kiai Faqih menghadap ke keraton dan mempraktikkan ilmunya. Ternyata ilmunya mendapat sanjungan dari Sri Sultan karena terbukti ampuh.

Ketika Mbah Faqih meninggal dunia, masyarakat meyakini bahwa mandi di pertempuran Kali Opak dan Kali Gajah Wong dapat menyembuhkan berbagai penyakit serta mendatangkan berkah ketenteraman, sehingga setiap hari rabu wekasan masyarakat berbondong-bondong mencari berkah.

Sejarah versi kedua, tidak jauh berbeda dengan yang pertama. Namun, upacara rabu wekasan ini tidak terlepas dari Keraton Mataram dengan Sultan Agung yang dulu pernah berkeraton di Pleret.

Upacara adat ini diselenggarakan sejak tahun 1600 ketika masa pemerintahan Mataram terjangkit wabah penyakit atau pagebluk. Kemudian diadakan ritual untuk menolak bala wabah penyakit itu dan rabu wekasan diadakan sebagai wujud doa.

Sejarah versi ketiga, Mbah Faqih dari Desa Wonokromo yang juga disebut Kiai Welit karena pekerjaannya adalah membuat welit atau atap dari rapak (daun tebu). Masyarakat mendatangi Kiai Welit supaya membuatkan tolak bala yang berbentuk wifik atau rajah yang bertuliskan Arab.

Rajah ini kemudian dimasukkan ke bak yang sudah diisi air lalu dipakai untuk mandi dengan harapan supaya yang bersangkutan selamat. Adat tersebut kemudian dinamai malam rabu wekasan.

Sebelum proses rabu wekasan dilakukan biasanya terdapat pasar malam di Lapangan Desa Wonokromo yang diadakan seminggu sebelum malam puncak. Upacara tersebut tersusun atas sambutan takmir masjid, pembacaan sholawat, dan doa bersama yang dipimpin salah seorang sesepuh Desa Wonokromo.

Setelah doa bersama, lemper raksasa yaitu sebuah tiruan lemper yang berukuran tinggi 2,5 meter dengan diameter 80 sentimeter dan gunungan tersebut diarak dari Masjid Karanganom hingga Balai Desa Wonokromo.

Lemper dan Gunungan tersebut diarak oleh beberapa pasukan atau bregodo (dalam bahasa Jawa), bregodo Sembrani, bregodo Abang, bregodo Umbul-umbul, bregodo Gamelan, dan bregodo Mburi.

Bregodo Sembrani berjumlah sebanyak 28 orang. Bregodo Mburi 40 orang dan dipimpin oleh Kapten Bregodo. Bregodo Abang yang bertugas memikul berjumlah 20 orang, bregodo Gamelan 10 orang yang terdiri dari satu peniup terompet, 2 peniup seruling, 2 penabuh bendhe, 2 penabuh tambur, dan 2 penabuh Jedog. Sedangkan bregodo Umbul-umbul sebanyak 10 orang. 

Sementara komando pusat dipegang seorang panji atau panglima perang. Panji ini bertugas mengatur pasukan yang mengawal Lemper Agung dan Gunungan tersebut sampai di hadapan Kepala Desa Wonokromo dengan aman. Rute arak-arakan ini melewati jalan Imogiri Timur dan menempuh jarak sekira 2 kilometer.

Selama prosesi lemper raksasa diusung dari depan masjid dan dikirabkan, setelah itu lemper diturunkan di kantor balai desa. Setibanya di Balai Desa Wonokromo, lemper dan gunungan dinaikkan ke atas pendopo balai desa. Di hadapan pendopo telah menunggu ribuan warga dari berbagai wilayah untuk berebut lemper dan gunungan tersebut.

Di atas pendopo diadakan upacara pemotongan lemper. Diawali sambutan Kepala Desa Wonokromo, pemaknaan dari perayaan tersebut oleh sesepuh lalu doa bersama, dan dilanjutkan pagas lemper atau pemotongan lemper oleh Bupati Bantul, Camat Kecamatan Pleret, dan Kepala Desa Wonokromo.

Usai diadakan pemotongan lemper raksasa oleh pejabat tinggi yang merupakan puncak dari acara tersebut, lemper tadi lalu dibagi-bagikan kepada tamu undangan yang hadir dan pengunjung, dan kekurangannya ditambah dengan lemper biasa yang sengaja dibuat oleh panitia guna menutupi kekurangan.

Gunungan yang dibawa tadi juga dipotong dan dibagi-bagikan pada pengunjung bahkan untuk rebutan seperti yang terjadi dalam acara sekaten di Keraton Ngayogyakarta tersebut. Setelah itu, Upacara Rebo Wekasan selesai. 

Hukum Rabu Wekasan Menurut Islam

Dinukil dari laman Konsultasi Syariah, dai muda asal Yogyakarta Ustadz Ammi Nur Baits ST BA mengungkapkan fenomena rabu wekasan bukan hanya terjadi di Indonesia. Sebab, ternyata kaum Muslimin di belahan dunia lain juga turut membahas hari Rabu terakhir bulan Safar.

Rabu wekasan (Rabu pungkasan) dalam bahasa Jawa, "Rebo" artinya hari Rabu, dan "Wekasan" atau "pungkasan" artinya terakhir. Kemudian istilah ini dipakai untuk menamai hari Rabu terakhir pada bulan Safar.

Mereka yang perhatian dengan rabu wekasan berkeyakinan bahwa setiap tahun akan turun 320.000 bala, musibah, atau bencana; dan itu akan terjadi pada hari Rabu terakhir bulan Safar.

Dikarenakan keyakinan ini, sebagian orang mengimbau untuk melakukan bentuk ibadah khusus pada hari itu, terutama orang Syiah.

Di berbagai forum daring (online), mereka sangat antusias membicarakan rabu wekasan ini. Tidak lupa mereka sebutkan sederet amalan sebagai upaya tolak bala yang sama sekali tidak pernah dicontohkan dalam Islam.

Di antara amalan tersebut adalah mengerjakan sholat empat rakaat dengan satu kali salam dalam rangka tolak bala. Sholat ini dikerjakan pada waktu dhuha atau setelah terbit matahari.

Pada setiap rakaat membaca Surat Al Fatihah kemudian Surat Al Kautsar 17 kali, Surat Al Ikhlas 50 kali, Al Mu'awwidzatain (Surat Al Falaq dan An-Nas) masing-masing 1 kali.

Ketika salam membaca Surat Yusuf Ayat 21 yang berbunyi:

وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ.

Artinya: "Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya."

Ayat tersebut dibaca sebanyak 360 kali.

Kemudian ditambah dengan Jauharatul Kamal 3 kali dan ditutup dengan bacaan seperti berikut (Surat Ash-Shaffat Ayat 180–182):

سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.

Kegiatan ini dilanjutkan dengan memberikan sedekah makanan kepada fakir miskin. Tidak cukup sampai di situ, ada juga yang menyuruh untuk membuat rajah-rajah dengan model tulisan tertentu pada secarik kertas, kemudian dimasukkan ke dalam sumur, bak kamar mandi, atau tempat-tempat penampungan air lainnya.

Mereka berkeyakinan, siapa yang melakukan ritual tersebut pada rabu wekasan, dia akan terjaga dari segala bentuk musibah dan bencana yang turun ketika itu.

Sumber referensi yang dijumpai yang membahas masalah ini adalah kitab "Kanzun Najah" karya Abdul Hamid bin Muhammad Ali Quds, salah satu tokoh sufi, murid Zaini Dahlan.

Dalam buku tersebut, dia menyatakan di pasal: Hal-hal yang Dianjurkan ketika bulan safar,

اعلم…أن مجموع الذي نقل من كلام الصالحين كما يعلم مما سيأتي أنه ينزل في آخر أربعاء من صفر بلاء عظيم، وأن البلاء الذي يفرِّق في سائر السنة كله ينزل في ذلك اليوم، فمن أراد السلامة والحفظ من ذلك فليدع أول يوم من صفر، وكذا في آخر أربعاء منه بهذا الدعاء؛ فمن دعا به دفع الله سبحانه وتعالى عنه شرَّ ذلك البلاء. هكذا وجدته بخط بعض الصالحين

Ketahuilah bahwa sekelompok nukilan dari keterangan orang salih –sebagaimana nanti akan diketahui– bahwa pada hari Rabu terakhir bulan safar akan turun bencana besar. Bencana inilah yang akan tersebar di sepanjang tahun itu. Semuanya turun pada hari itu. Siapa yang ingin selamat dan dijaga dari bencana itu, maka berdoalah di tanggal 1 safar, demikian pula di hari rabu terakhir dengan doa yang sama. Siapa yang berdoa dengan kalimat itu maka Allah akan menyelamatkannya dari keburuhan musibah tersebut. Inilah yang aku temukan dari tulisan orang-orang salih.

Selanjutnya, penulis menyebutkan beberada doa yang dia ajarkan. (Kanzun Najah, halaman 49)

Sebagai orang beriman daan meyakini bahwa sumber syariat adalah Alquran dan sunnah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wassallam, tentu saja berita semacam ini tidak boleh kita percaya. Sebab kedatangan bencana di muka bumi ini merupakan sesuatu yang ghaib dan tidak ada yang tahu kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Satu-satunya cara untuk mengetahui hal itu adalah melalui wahyu Alquran dan sunnah. Sementara penulis sama sekali tidak menyebutkan sumber selain klaim bahwa itu tulisan orang salih. Terlebih tidak ada keterangan dari sahabat maupun ulama masa silam yang menyebutkan hal ini.

Lembaga fatwa Arab Saudi, Lajnah Daimah, pernah ditanya mengenai ritual rabo wekasan yang dilakukan pada akhir bulan Safar. Jawaban yang diberikan:

هذه النافلة المذكورة في السؤال لا نعلم لها أصلا من الكتاب ولا من السنة، ولم يثبت لدينا أن أحدا من سلف هذه الأمة وصالحي خلفها عمل بهذه النافلة، بل هي بدعة منكرة، وقد ثبت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد. ومن نسب هذه الصلاة وما ذكر معها إلى النبي صلى الله عليه وسلم أو إلى أحد من الصحابة رضي الله عنهم فقد أعظم الفرية، وعليه من الله ما يستحق من عقوبة الكذابين‏.‏ وبالله التوفيق‏.‏ وصلى الله على نبينا محمد، وآله وصحبه وسلم‏.‏

Amalan seperti yang disebutkan dalam pertanyaan, tidak kami jumpai dalilnya dalam Alquran dan sunnah. Tidak juga kami ketahui bahwa ada salah satu ulama masa silam dan generasi setelahnya yang mengamalkan ritual ini. Jelas ini adalah perbuatan bid'ah. Dan terdapat hadis shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد

"Siapa yang membuat hal yang baru dalam agama ini, yang bukan bagian dari agama, maka dia tertolak." (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan lainnya)

Siapa yang beranggapan kegiatan semacam ini pernah dilakukan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wassallam atau pernah dilakukan sahabat radhiyallahu 'anhu, maka dia telah melakukan kedustaan atas nama beliau.

Itulah ulasan tentang sejarah rabu wekasan dan tradisi yang biasa dilakukan. Allahu a'lam

(Hantoro)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita muslim lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement