JAKARTA - Seorang guru sekolah minggu, Nur Aisyah Huriah, mengungkapkan kisahnya sehingga bisa memeluk agama Islam. Nur Aisyah yang sebelumnya bernama Yosiupang menyatakan mendapatkan petunjuk dari mimpinya.
Nur Aisyah Huriah mengungkapkan telah memeluk Islam selama tiga tahun terakhir. Perjalanan spiritualnya penuh dengan tantangan, terutama menghadapi tekanan dari keluarga besar yang berbeda keyakinan.
Aisyah mengaku, waktu kecil ia diasuh oleh orang tua angkat beragama Islam. Ia sendiri baru mulai tertarik mempelajari Islam ketika dewasa.
"Saya tahu kalau Islam kan juga ibadah seperti sholat dan ngaji. Akhirnya cari-cari tahu tentang Islam yang sebenarnya tuh seperti apa," ujarnya, mengutip kanal Youtube Ngaji Cerdas, Selasa (19/11/2024).
Perbedaan antara ajaran Islam dan keyakinan Kristen yang ia anut sebelumnya memunculkan konflik batin. Namun, ia berharap Islam adalah agama yang terbaik baginya.
"Besar harapan saya semoga Islam memang benar-benar agama yang terbaik buat saya," ucapnya.
Dalam proses pencarian keyakinan, Aisyah merasa mendapat petunjuk melalui mimpi.
"Saya mendengar pesan, entah darimana datangnya, 'Ikuti pilihan yang sekarang kau ambil, Insya Allah itu akan bagus.' Pesan itu menguatkan niat saya untuk menjadi mualaf," ungkapnya.
Dengan keberanian, ia mencari ustadz untuk membimbingnya mengucapkan syahadat. Aisyah bertemu dengan seorang imam. Ia menceritakan latar belakangnya dan menyampaikan niatnya.
"Kamu sudah tahu kan risikonya seperti kendala yang akan dihadapi karena keluarga besar kamu nonmuslim asli Toraja," kata sang imam, sebagaimana ditirukan Aisyah.
"Insya Allah sudah siap ustadz," jawab Aisyah.
Saat itu Aisyah langsung mengucap syahadat, ditemani 2 orang temannya.
Seminggu setelah menjadi mualaf, Aisyah memberi tahu ibu sambungnya. Responsnya positif, meski Aisyah masih ragu memberi tahu keluarga kandungnya. Tantangan semakin besar ketika ia pulang ke Makassar untuk menghadiri pemakaman pamannya. Keputusannya memakai hijab memicu kemarahan keluarganya.
"Saya pulang ke Makassar pakai hijab, saya sudah tahu risikonya akan seperti itu, dicaci maki, saya enggak dianggap anak sendiri, saya dianggap kaya orang lain, pedih sekali rasanya," katanya.
Sewaktu di Makassar, ia menghadapi cobaan berat. Saat proses pemakaman pamannya di Toraja, Aisyah berharap dirinya dapat ikut. Keluarganya memberinya kesempatan untuk ikut dengan syarat Aisyah harus meninggalkan hijab dan shalatnya.
Aisyah menjelaskan bahwa dirinya tak sanggup hati untuk pergi dan meninggalkan keislamannya. Namun, ia juga bimbang karena masih ingin mengikuti proses pemakaman pamannya. Ia pun berdoa.
"Ya Allah, tolonglah aku, ampunilah aku bila caraku ini salah," katanya.
Rencana Aisyah untuk kembali ke Jakarta mendapat hambatan. Keluarga besar tidak mengizinkannya pergi. Bahkan, ia sempat dimarahi di hadapan seluruh keluarga. "Saya diseret lalu saya duduk di tengah-tengah keluarga. Itu saya di caci maki," kenangnya.
Aisyah meminta tolong kepada teman-temannya meminjam uang agar dapat membeli tiket pesawat.
"Alhamdulillah Allah kasih saya teman-teman yang memang support saya untuk balik ke Jakarta," ucap Aisyah.
Ia meminta temannya untuk mengantarnya ke bandara dari rumahnya yang di Makassar.
Tak disebutkan detail bagaimana caranya pergi ke Makassar, namun ketika Aisyah berpamitan kepada ibu sambungnya, ia bertemu dengan kakaknya yang menentang keras keputusan Aisyah. Tanpa memerdulikan kalimat yang mengiris hatinya, Aisyah tetap memutuskan pergi dan terbang ke Jakarta.
"Niat saya sudah bulat, saya harus pergi ke Jakarta, saya tidak mau meninggalkan keislaman yang saya punyai ini," ujar Aisyah.
Dorongan keras yang membuatnya tetap pergi adalah pengalaman ayahnya sendiri.
"Bapak kan menikah lagi dengan orang Malili, Sulawesi Tengah, menikah secara Islam. Namun, ketika dibujuk keluarga untuk balik yaa balik lagi ke agama sebelumnya," katanya.
Aisyah, yang merasa perbuatan tersebut tidak sepatutnya dilakukan, telah memilih jalannya sendiri. Ia mantap memutuskan Islam adalah agama terbaik untuknya.
"Saya enggak mau jadi seperti bapak. Saya sudah dewasa, bisa menentukan mana baik mana enggak, kalau keturunan kita sebelumnya nonmuslim, anak harus dikasih begitu juga? Kan enggak," ucapnya.
(Erha Aprili Ramadhoni)