Setelah Zaid syahid, panji pasukan dipegang Ja’far bin Abi Thalib. Dengan kudanya, ia menerobos barisan musuh, namun sebuah pedang menebas tangan kanannya. Ia pun memindahkan panji ke tangan kirinya, hingga tangan kirinya juga tertebas.
Tidak menyerah, Ja’far memeluk panji dengan dadanya, bertahan sampai akhirnya ia gugur sebagai syuhada. Allah mengganti kedua tangannya dengan dua sayap di surga, sehingga ia dikenal sebagai “orang yang memiliki dua sayap”.
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Rasulullah SAW telah menunjuk Zaid bin Al-Haritsah sebagai panglima perang. Beliau bersabda, *‘Jika Zaid gugur, maka pengganti berikutnya adalah Ja’far. Jika Ja’far juga gugur, maka Abdullah bin Rawahah yang akan memimpin.’”
Ibnu Umar melanjutkan, “Saat itu kami bersama pasukan, dan ketika mencari Ja’far, kami mendapati tubuhnya sudah dipenuhi lebih dari 90 luka akibat panah, tombak, dan pedang.” Karena itu, setiap kali Ibnu Umar bertemu putra Ja’far, ia berkata, *“Salam untukmu, wahai putra pemilik dua sayap.”
Setelah Ja’far gugur, panji diambil oleh Abdullah bin Rawahah. Ia terus berjuang sampai akhirnya ia syahid. Kemudian Tsabit bin Arqam maju menyelamatkan panji dan berkata kepada pasukan, “Wahai kaum muslimin! Sepakatlah untuk menunjuk seorang panglima baru.” Mereka menjawab, “Kamu saja yang memimpin!” Namun Tsabit menolak dengan rendah hati, “Aku tidak mau.” Akhirnya, para prajurit memilih Khalid bin Walid sebagai pemimpin.
Ketika panji pasukan dipegang Khalid bin Walid, ia memimpin pertempuran dengan penuh keberanian dan kegigihan. Qais bin Abi Hazim meriwayatkan, Khalid pernah berkata, “Pada Perang Mu’tah, aku telah mematahkan sembilan pedang. Hingga akhirnya tidak ada lagi pedang tersisa di tanganku, kecuali sebuah pedang lebar buatan Yaman.”