JAKARTA - Nabi Muhammad SAW menikah dengan Khadijah binti Khuawilid. Pernikahan keduanya berlangsung sederhana dan hangat.
Diketahui, Nabi Muhammad bekerja kepada Khadijah. Khadijah tertarik kepada Nabi Muhammad karena kejujurannya.
Khadijah tahu, kejujuran adalah hal paling berharga. Melansir laman Muhammadiyah, Senin (13/10/2025), di usia yang matang, Khadijah telah menolak banyak lamaran dari kalangan terhormat Quraisy. Namun kali ini ada seorang pria muda yang menarik perhatiannya. Khadijah lantas memanggil pelayannya, Nafisah, untuk menyampaikan ketertarikannya pada Muhammad.
Beberapa hari kemudian Nafisah mendatangi Muhammad dan bertanya,
“Mengapa kamu belum menikah?”
Muhammad tersenyum, lalu berkata,
“Siapa yang akan menikahi diriku? Aku yatim, dan hidupku sederhana.”
Perempuan tua itu menjawab,
“Bagaimana jika Khadijah ingin menikahimu?”
Dalam jeda sepersekian detik, Muhammad bertanya balik,
“Mengapa ia ingin menikahiku?”
Dalam percakapan di atas, Muhammad tidak menolak, hanya bertanya mengapa seorang perempuan terpandang seperti Khadijah ingin menikah dengannya. Keheranan itu menyimpan isyarat ketertarikan, bukan penolakan. Nafisah yang bijak menangkap makna di balik diam itu, lalu kembali kepada Khadijah dengan kabar gembira.
Waktu berjalan tanpa banyak kata. Setelah pesan Nafisah disampaikan, suasana di rumah Khadijah berubah menjadi tenang tapi sarat harapan. Di antara hiruk pikuk pasar dan kabar dagang, dua nama mulai disebut bersama dalam bisikan orang-orang Quraisy. Keputusan pun mendekat seperti takdir yang sudah lama menunggu.
Muhammad dan Khadijah akhirnya memutuskan menikah. Di rumah Khadijah, para kerabat berkumpul dalam suasana yang hangat dan bersahaja. Pamannya, ‘Amr ibn Asad, menjadi wali yang menikahkannya. Muhammad datang bersama pamannya, Abu Thalib, yang mewakilinya dalam khotbah pernikahan.
Abu Thalib berdiri dan memulai dengan pujian kepada Allah. Suaranya mantap ketika mengingatkan kemuliaan suku Quraisy sebagai penjaga Ka’bah dan penduduk terhormat Makkah. Setelah itu ia berkata,
“Keponakanku, Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib, tidak ada tandingannya di antara pemuda Quraisy dalam hal akhlak, kemuliaan, dan nasab. Jika ia kurang harta, ketahuilah bahwa harta hanyalah rezeki sementara seperti bayangan yang cepat berlalu. Ia ingin menikahi Khadijah, dan Khadijah pun menghendakinya.”
Kata-kata itu disambut dengan persetujuan yang tulus. Sebagai tanda resmi pernikahan, mahar diberikan sebar 12 uqiyyah perak, kira-kira 40 dirham. Paman Khadijah menutup acara itu dengan kalimat singkat,
“Pemuda seperti ini tak pantas ditolak.”
Pernikahan sederhana itu menjadi penanda penting dalam sejarah umat manusia. Dari rumah itulah kelak lahir risalah yang mengubah dunia.
(Erha Aprili Ramadhoni)