Puasa dan Persamaan Manusia di Muka Hukum

, Jurnalis
Jum'at 10 Mei 2019 16:36 WIB
Share :

Gejala ini dapat membahayakan fondasi bernegara. Sebab, jika hukum tidak lagi berwibawa, orang tidak akan percaya kepada hukum dan akibatnya orang akan memilih untuk main hakim sendiri. Selanjutnya terjadilah anarki, masyarakat tanpa hukum dan tanpa tertib politik. Kekacauan akan terjadi dimana-mana.

Dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari Muslim, Rasulullah mengingatkan tentang bahaya hukum yang diskriminatif. Suatu saat, masyarakat Quraisy digemparkan oleh kasus seorang wanita suku Makhzumiyyah (salah satu suku terpandang) yang mencuri. Mereka membujuk Usamah ibn Zaid, salah seorang yang dikasihi Rasulullah, untuk memohonkan pengampunan atau keringanan hukum, mengingat pencurinya adalah seorang wanita bangsawan.

Rasulullah yang mendengar permintaan itu sontak berdiri di tengah-tengah dan berbicara tegas: “Sungguh, umat sebelum kalian hancur karena ketika di antara mereka ada yang mencuri dari kalangan terpandang, mereka membiarkannya; sementara jika pelakunya kalangan rendahan mereka menjatuhkan hukuman.” Rasulullah kemudian mengucapkan kalimat yang sangat terkenal: “Demi Allah, seandainya Fathimah putri Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya” (wa aymullah, law anna fathimat binta Muhammad saraqat, laqatha’tu yadaha).

Perhatiakn redaksi yang digunakan Rasulullah, law anna fathimat binta Muhammad, bukan, misalnya, binta Rasulillah. Di situ Rasulullah menempatkan dirinya sebagai manusia yang setara dengan manusia lain. Beliau berbicara sebagai Muhammad, pribadi yang punya anak, yang juga harus tunduk pada hukum tanpa pengecualian. Rasulullah tidak menggunakan otoritasnya sebagai rasul, yang anak-anaknya memiliki privelege untuk kebal hukum.

Dewasa ini, kita sering prihatin karena pejabat dengan jabatannya atau anak-anak pejabat yang berlindung kepada jabatan orangtuanya, memiliki privelege tertentu untuk menjadi lebih kebal hukum dari orang kebanyakan. Jika ini mewabah, waspadalah, ini sinyal dari keruntuhan sebuah negara. Marilah, semangat dan moral Ramadan ini kita jadikan sebagai momentum untuk menyelenggarakan penegakan hukum tanpa diskriminasi, tanpa makelar kasus, tanpa suap, agar pemerintahan menjadi bersih dan berwibawa. Jika pemerintahan bersih dan berwibawa, rakyat punya hak lebih cepat untuk makmur dan sejahtera.

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Muslim lainnya