MASIH terekam jelas dalam pikiran Adil, penjara dengan ruang sempit berbau busuk dipenuhi ratusan tubuh manusia saling berdesakan. Ketika malam tiba, tak jarang suara bising memecah keheningan. Suara itu biasanya berasal dari salah satu bilik sel di Lapas Paledang, Bogor, Jawa Barat, yang diisi para 'pangeran' dan 'dayak', sebutan kasta bagi para tahanan yang mendekam di lapas tersebut.
Penjara Lapas Paledang sempat menjadi rumah sementara bagi Adil, setelah ia tertangkap basah membawa beberapa linting ganja di kawasan Depok, pada 2004 silam. Kepada Okezone, pria bernama lengkap Muhammad Ibrahim Adil itu pun menceritakan pengalaman berharga yang membuatnya memantapkan diri untuk berhijrah.
Keputusan ini tidak terlepas dari masa lalu Adil yang sangat kelam, hingga pada akhirnya ia merasa mendapatkan hidayah dari Allah SWT.
Awal mula mengenal narkoba
Adil telah mengenal minuman keras sejak dirinya masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Pada saat itu, lingkungan dan pergaulan di sekitarnya lah yang mengenalkan Adil pada barang haram tersebut.
"Jadi waktu itu yang paling gampang di raih ya anggur merah. Masuk SMP beranjak jadi obat-obatan. Nah, pas SMA, gue sebetulnya sempat sehat dan punya kehidupan yang enak banget," jelas Adil saat dihubungi Okezone via sambungan telepon, beberapa waktu lalu.
Adil menambahkan, kehidupannya semasa SMA memang sangat jauh berbeda. Ia memiliki segudang aktifitas positif seperti tergabung dalam sebuah band bernama Biscuit. Band yang didirikan oleh teman-teman sekolahnya ini ternyata cukup menjanjikan. Mereka beberapa kali berkesempatan manggung dengan sejumlah band kenamaan ibu kota seperti The Upstairs hingga Nidji.
Namun sampai pada suatu ketika, ia terpaksa dikeluarkan oleh group band tersebut karena sudah tidak memiliki visi yang sama. Momen inilah yang menjadi titik balik bagi Adil, hingga akhirnya ia kembali terjerumus pada lubang hitam.
"Sebetulnya akumulasi dari rasa kecewa yang gue rasakan sejak kecil. Lingkungan dan pergaulan gue itu emang deket dengan hal-hal seperti itu. Lalu akhirnya, gue dikeluarkan dari band. Dari situ gue mulai kacau, mulai cobain lagi obat-obatan dan ganja," terangnya.
Tumbuh besar dilingkungan keluarga yang bekerja di industri kreatif, secara tidak langsung membentuk pola pikir Adil untuk hidup mandiri. Bahkan, saat masih duduk di bangku SMA, ia sudah bisa menghasilkan uang sendiri. Dari penghasilan inilah, Adil bisa membeli ganja dan obat-obatan terlarang.
"Waktu itu gue bisnis clothing. Di Depok dulu belum banyak distro baru ada satu atau dua. Alhasil penghasilan gue lumayan besar. Tapi setiap minggu duitnya gue pake dugem. Kalau bisnis lagi gak jalan, gue mabokkan yang murah aja," ungkap Adil sembari tertawa kecil.
Mencicipi dinginnya sel penjara
Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya akan jatuh juga. Peribahasa ini telah dibuktikan Adil, saat dirinya tertangkap basah membawa beberapa linting ganja di kawasan, Depok, Jawa Barat. "Gue juga heran, kenapa saat itu gue malah lewat ke jalan itu yang notabennya gue paham betul sering ada razia. Tapi kayaknya, Allah SWT sudah menakdirkan gue harus ketangkep," kenang Adil.
Sejak saat itu, Adil berikrar bahwa ia tidak mau menyusahkan kedua orangtuanya. Ia pun menerima hukuman penjara selama kurang lebih 8 bulan yang dijatuhkan oleh pihak berwajib.
Tiga bulan pertama, pria berusia 36 tahun itu harus mendekam di Polresta Depok. Di tempat inilah pertama kali Adil mulai mendekatkan diri kepada Allah SWT. Terlebih setelah ia berkenalan dengan salah seorang tahanan yang menjadi teman pertamanya di penjara.
“Selama tiga bulan gue digulung (dipukul) oleh tahanan lain. Sampai pada akhirnya gue berkenalan dengan seorang polisi yang juga dijebloskan ke dalam penjara. Kondisinya lebih kacau daripada gue. Dia lebih parah dipukulin karena mengambil barang-barang bukan miliknya,” jelas Adil.
Setelah berkenalan, keduanya pun mulai membuka diri dan mencurahkan hati satu sama lain. Sampai pada suatu waktu, ia tersadar bahwa tidak ada tempat mengadu lagi kecuali pada Allah SWT. Adil kemudian kembali mendalami ilmu agama, dan mulai melaksanakan salat lima waktu.
Namun ternyata, cobaan masih terus berlanjut. Ia dan temannya harus dipindahkan ke Lapas Paledang di Bogor, Jawa Barat. Di tempat inilah ia merasakan mukjizat dari Allah SWT.
“Kami dipindahkan ke Paledang, penjara lama di sebuah bangunan belanda kuno. Tempatnya benar-benar tidak layak. Karena kapasitas tempat yang seharusnya diisi 500 orang, di situ malah diisi lebih dari 1500 orang,” tambahnya.
Sebelum dipindahkan, salah satu temannya mengatakan bahwa, mereka harus menyediakan pelor (uang untuk menyuap sipir agar diberi tempat yang layak di penjara). Uang tersebut harus dimasukkan ke dalam anus agar tidak ketahuan dan aman.
Namun mengingat Adil tidak ingin lagi menyusahkan kedua orangtuanya, ia pun hanya bisa pasrah. Sepanjang perjalanan ia berulang kali membaca surat An Nashr, dengan maksud minta perlindungan kepada Allah SWT.
“Waktu sampai di Paledang, teman gue tadi itu sudah habis dipukulin tahanan lain. Tapi Alhamdulillah gue enggak kena sama sekali dan bisa langsung masuk sel dengan aman,” bebernya.
Berbeda dengan sel tahanan di Polresta Depok, suasana Lapas Paledang jauh lebih mencekam dan sangat memprihatinkan. Setiap pagi, Adil selalu mencium aroma busuk yang menyeruak dari balik sel para tahanan yang mendapat julukan ‘dayak’.
“Dayak itu sebutan untuk tahanan yang kastanya paling rendah. Kasta paling tinggi itu disebut ‘pangeran’ mereka lah yang jadi penguasa di setiap sel. Mereka berhak tidur di atas panggung, sementara para ‘dayak’ harus berdesak-desakkan tidur dalam kondisi duduk, dan menyantap makanan dari sampah,” ungkap Adil.