Artinya, “Dengan menyebut asma Allah yang maha pemurah lagi maha penyayang. Ya Allah, jauhkanlah setan dari kami, dan jauhkanlah setan dari turunan yang Engkau berikan kepada kami.”
Maka jika di antara keduanya ditakdirkan lahir seorang anak, maka anak itu tidak akan diganggu oleh setan selamanya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Adab lainnya adalah tidak menghadap kiblat, tidak di tempat terbuka, mengenakan kain penutup, sebaiknya tidak mengumbar suara, tidak banyak bicara, tidak ada yang melihat walaupun anak kecil yang belum baligh, tidak ada yang merekam atau direkam—walaupun keduanya meridhai hal itu—tidak boleh dilakukan di hadapan istri yang lain, sebaiknya dilakukan dalam keadaan suci keduanya, setidaknya setelah mencuci kemaluan dan berwudhu jika ingin mengulangi, dilakukan di hari atau malam Jumat, sebagaimana menurut al-Ghazali.
Kemudian, tidak dilakukan di waktu-waktu yang tidak diperbolehkan, seperti istri sedang haid, sedang nifas, salah satu pasangan sedang beri’tikaf, berpuasa, dan ihram. Sedangkan pada saat istri mengalami istihadhah (keluar darah penyakit) atau belum mandi besar dari haid diperdebatkan para ulama. Namun, kebanyakan ulama menganjurkan si istri sudah mandi besar.
Terakhir, seseorang tidak diperkenankan menceritakan rahasia atau kisah ranjang yang terjadi antara dirinya dengan pasangannya. Bahkan mayoritas ulama, seperti sebagian ulama Hanbali, Hanafi, dan Syafii, mengharamkan untuk membangga-banggakan cerita tentang hubungan badannya atau menyebarkan rahasia yang terjadi dengan pasangannya. Mereka berargumentasi dengan hadits:
إِنَّ مِنْ أَشَرِّ النَّاسِ عِنْدَ اللَّهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُل يُفْضِي إِلَى امْرَأَتِهِ وَتُفْضِي إِلَيْهِ، ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا
Artinya, “Seburuk-buruknya kedudukan seseorang pada hari Kiamat di antaranya adalah seorang laki-laki yang membuka hal istrinya atau seorang perempuan yang membuka hal suaminya (saat jimak) kemudian ia menyebarkan rahasianya,” (HR Muslim).
Bahkan, menurut Ibnu al-Qayyim, al-Haitami, Ibnu ‘Illan, dan yang lain, hal itu dianggap sebagai dosa besar.
Namun, ada pula yang sekadar memakruhkan, sebagaimana pendapat mazhab Hanbali. Dijelaskan oleh al-Nawawi, berstatus haram jika yang diceritakan adalah sesuatu yang seharusnya disembunyikan, seperti kisah jimak atau kisah mesra di antara suami-istri. Sedangkan berstatus makruh adalah jika yang diceritakan adalah sesuatu yang masih pantas dan tak merusak kehormatan. Termasuk makruh juga diceritakan tidak ada tujuan. Artinya, jika ada tujuan tertentu, seperti untuk berobat, maka diperbolehkan.
Demikian beberapa hal yang harus diperhatikan agar jimak atau hubungan suami-istri lebih berpahala, dan diharapkan darinya lahirnya keturunan yang saleh, sebagaimana yang disarikan dari al-Mausû‘ah al-Fiqhiyyah al-Quwaitiyyah. (Lihat: Tim Kementerian Wakaf dan Urusan Keislaman, Al-Mausu‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, [Kuwait: Darus Salasil], 1427 H, jilid 44, hal. 15).
(Abu Sahma Pane)