Kiai Husein Berkisah Soal Pakaian Sederhana Gus Dur

, Jurnalis
Senin 16 Desember 2019 04:30 WIB
Gus Dur berkisah pengalaman lucu (Foto: Inst)
Share :

Kiai Husein Muhammad, sahabat setia KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur berkisah tentang sahabat yang disayanginya tersebut.

"Sering aku melihat Gus Dur di rumahnya, hanya mengenakan kaos dan celana sebatas bawah lutut sampai setengah betis. Kainnya dari bahan yang tak tampak berkualitas,” kata kiai Husein Muhammad.

Ketika beliau masih sakit tahun 1997, kisah Kiai Husein, Gus Dur memanggilnya masuk kamarnya. Beliau mengenakan pakaian seperti itu celana dan kaos seperti tadi. "Aku tak melihat logo bajuu bermerek atau sejenisnya bikinan luar negeri."

Ya seperti pakaian yang dikenakannya ketika beliau berdiri di depan istana, sambil melambai-lambaikan tangan kepada ratusan umatnya yang menunggunya menjelang ia dilengserkan dengan paksa dan inkonstitusional dari kursi kepresidenan. Tak ada bedanya, ketika beliau di Istana maupun di rumahnya.

Gus Dur memang tak memikirkan atau tak lagi terpikirkan soal bahan apa dan warna apa yang patut dipakai, meski ia mampu merabanya. Ia juga tak peduli bikinan siapa untuk pakaiannya, bikinan dalam negeri atau luar negeri, buatan orang Islam atau orang kafir, orang komunis atau sekuler, baik saat menjadi presiden atau menjadi orang biasa. Ia menerima saja apa yang diberikan kepadanya.

Tetapi tentu saja, ibu dan anak-anaknya memperhatikan untuk memilihkan apa yang pantas bagi suami/bapaknya. Merekalah yang memilihkan pakaian untuk suami/ayahnya pakaian apa dari dari bahan apa yang pantas baginya di suatu tempat dan untuk momen-momen yang dihadirinya. Meski begitu pilihan pakaian itu tetap saja sederhana. "Aku kira semua orang bisa melihatnya."

Namun, ujar Kisai Husein, hal yang menarik jarang sekali Gus Dur memakai sarung, seperti kiai pada umumnya yang kemana-mana pakai sarung. Padahal Gus Dur adalah kiai besar. "Hanya sekali aku melihat foto Gus Dur yang mengenakan sarung kotak-kota, baju koko warna putih dan berpeci hitam."

Padahal, terang Kiai Husein, ia dulu saat masih mondok di pesantren, menganggap sarung adalah pakaian Islam. Sedang celana pantalon pakaian Londo alias orang asing non Islam. Tak sah rasanya jika salat atau menghadiri akad nikah atau hajat ritual yang lain tidak pakai sarung.

Budaya kita, ujuarnya, acap melihat 'sarung' sebagai tanda kesalehan seseorang. Paling tidak lebih saleh dari orang yang memakai celana panjang. Mungkin saja, ini akibat negeri ini pernah dijajah Belanda untuk waktu berabad-abad. Para penjajah selalu memakai celana dan dasi. Maka celana cenderung memiliki makna identitas penjajah.

Seperti dilansir Muslim Moderat, konon pernah ada fatwa haram memakai celana, karena alasan tersebut. Gus Dur, tentu juga paling paham soal budaya ini. "Aku memperoleh cerita dari murid-muridnya ketika di pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur," ujarnya.

Saat Gus Dur mengajar di kelas, ia mengenakan celana panjang, dan tidak pernah sekalipun memakai sarung seperti kebanyakan guru yang lain. Hal yang menarik dari itu, "Aku belum pernah sekalipun melihat Gus Dur mengenakan pakaian khas Arab semacam gamis atau 'tob' atau jubah."

Beliau juga tak pernah memakai sorban dengan gulungan besar maupun kecil berwarna putih maupun hijau. Kalaupun pernah, boleh jadi hanya untuk menghormati orang yang memintanya. Atau tak juga sering memakai peci putih khas orang Indonesia usai haji.

Padahal kiai yang lain seperti Kiai Achmad Siddiq misalnya sesekali memakainya. Di dinding rumahnya aku tak melihat foto Gus Dur dengan gaya orang Arab. Ia mengaku tak mengerti pikiran Gus Dur.

Gus Dur seperti ayahnya, K.H. Abdul Wahid Hasyim yang senang mengenakan celana pantalon, baju putih dan berdasi, kadang pakai peci kadang tidak. Kiai Wahid tampak ganteng dan perlente.

Begitulah pakaian Gus Dur. "Kata orang untuk soal pakaian pun Gus Dur seorang nasionalis dan menjaga tradisi lokal."

Gus Mus malah menyampaikan pernyataan yang menarik, “Dalam berpakaian, Gus Dur itbã’ Kanjeng Nabi yang selalu berpakaian sederhana dan sesuai ‘budaya lokal’nya.” Ittiba’ artinya mengikuti Nabi.

(Dyah Ratna Meta Novia)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Muslim lainnya