BENCANA seperti banjir yang melanda Jakarta dan sekitarnya mungkin menghilangkan atau mengurangi kenyamanan sebagian umat Islam untuk salat. Sebab mungkin saja Muslim yang jadi korban banjir kesulitan atau tidak menemukan tempat dan pakaian yang suci dari najis.
Bahkan Muslim yang jadi korban banjir bisa saja kesusahan mendapatkan yang bisa menutup aurat secara sempurna. Dikutip dari laman resmi Muhammadiyah, dalam kondisi seperti ini seorang Muslim tetap wajib salat fardhu jika waktunya sudah tiba.
Meskipun dalam situasi evakuasi dimana mereka tidak sempat salat, kewajiban salat tidak gugur bagi mereka. Karena salat adalah kewajiban yang tidak dapat digugurkan kecuali karena alasan, seperti hilang akal sehat (menjadi gila), haid atau nifas bagi perempuan.
Jika salat tidak bisa dilaksanakan pada waktunya karena alasan emergency, maka salat dapat dilakukan pada waktu yang memungkinkan (aman dan tidak bahaya). Pada dasarnya tidak ada dalil yang kuat untuk mengqada salat, terutama bagi mereka yang sengaja meningalkan salat.
Akan tetapi jika ada orang yang tidak melaksanakan salat pada waktunya karena ada halangan syar’i seperti tertidur atau lupa, maka yang bersangkutan harus melakukan salat ketika bangun dan ketika ingat. Hal ini merujuk kepada hadis yang di riwayatkan oleh At Tirmidzi, Rasulullah berkata;
“Sesungguhnya tidak ada masalah lalai kalau sedang tidur. Sesungguhnya lalai itu dalam keadaan juga, maka apabila lupa salah satu diantara mu atau sedang tidur (sehingga tidak mengerjakan salat), maka kerjakanlah salat apabila telah ingat.”
Permasalahan kehilangan waktu salat karena situasi evakuasi bencana atau banjir, dapat diqiyaskan dengan orang yang ketiduran dan lupa. ‘Illah adalah sama-sama meninggalkan salat dengan cara yang tidak disenggaja. Lalu bagaimana menjalankan ibadah salat, jika pakaian yang bersih dan pantas, serta menutup aurat tidak tersedia?
Dalam Alquran, umat Islam diperintahkan setiap kali melaksanakan salat harus memakai pakaian yang bersih dan indah (QS. Al A’raf (7); 31). Perintah tersebut juga ditegaskan oleh Nabi, bahwa pakaian yang terkena najis tidak boleh digunakan untuk salat.
Sementara, beberapa hal ini termasuk dalam kategori najis dalam fiqih. Yakni, kotoran dan muntah manusia, air mazi dan wadi, kotoran hewan (khususnya yang haram untuk dimakan), bangkai hewan, anjing, dan babi. Sehingga jika pakaian terkena benda di antara yang disebutkan maka pakaian tersebut najis.
Namun dalam kondisi bencana, di mana situasi tidak memungkinkan untuk mengganti pakaian yang bersih, hal tersebut dapat dimaklumkan dan salatnya tetap menjadi sah. Karena kewajiban salat harus tetap dijalankan meskipun salah satu rukun tidak terpenuhi. Inilah yang disebut sebagai kondisi darurat, sehingga menyebabkan pengecualian.
Kaidah fiqihnya adalah, “Kondisi darurat dapat membolehkan sesuatu yang pada asalnya dilarang.”
Dan, yang melaksanakan salat dalam keadaan aurat tidak tertutup sempurna karena keadaan yang memaksa, maka bagi korban bencana tetap diwajibkan untuk melaksanakan salat. Sering ditemukan dalam keadaan bencana, masyarakat yang lebih memilih untuk meningalkan salat karena beralasan auratnya tidak tertutup sempurna.
Dalam kacamata fikih, kondisi bencana juga dapat digolongkan dalam golongan darurat seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Dengan demikian hukum kewajiban untuk melaksanakan salat tetap, meskipun aurat tidak tertutup sempurna.
Hal ini merujuk kepada surat al-Taghabun ayat 16, yang artinya “Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu”. Dan hadis yang diriwayatkan Rasulullah, “Jika aku melarang kalian dari satu perbuatan, maka jauhilah sejauh-jauhnya. Jika aku memerintahkan kalian untuk melakukan satu perbuatan, maka lakukanlah sebisa kalian.”
Sedangkan untuk kaidah fikihnya adalah “Kesulitan menimbulkan kemudahan”. Kaidah tersebut adalah hukum-hukum yang menimbulkan kesulitan atau yang berada di luar kapasiatas manusia untuk mengamalkannya, maka diberikan keringanan oleh syariah untuk dijalankan sesuai kemampuannya.
(Abu Sahma Pane)