Masyarakat biasa menyebutnya dengan istilah, berdagang dengan “modal habis - bayar”, yaitu kebiasaan berdagang yang mengambil barang dari pedagang tengkulak terlebih dulu, yang bila barangnya habis terjual, baru ia datang ke tengkulak untuk membayar harga barang.
Status barang yang dijual seperti ini jelas merupakan hasil dari akad wakalah. Dalam kondisi ini, harta dagang bukan termasuk yang dihitung sebagai barang yang wajib dizakati, karena unsur akad wakalah yang terjalin. Lain halnya dengan barang dari akad dain (menghutangi), yang bila laku, maka status milik barang tersebut bagi penjual adalah milkun tamm. Meskipun, harganya belum diterimakan dari pembelinya karena dibeli dengan harga kredit atau tempo.
Dengan pola istinbath hukum yang sama dan kacamata yang berbeda dari sisi hukum, yaitu bahwa yang dimaksud sebagai al-duyun al-marjuwwah adalah piutang dagang, atau tagihan pedagang kepada pembelinya yang sudah memutuskan membeli barang kepada pedagang. Harta piutang ini masuk unsur milik yang kuat disebabkan karena unsur dlaman yang otomatis masuk dalam akad.
Dalam syariat, setiap barang yang dapat laku dijual, maka wajib berlaku kaidah larangan mengambil laba barang yang tidak bisa dijamin (al-ribhu ma lam yudlman). Mafhum mukhalafahnya, maka untuk barang yang bisa dijamin dibayarnya harga barang, secara otomatis berlaku sebagai piutang yang masuk dalam bagian urudl al-tijarah.