Sya’wanah merupakan sufi perempuan asal Persia yang sangat beriman kepada Allah SWT. Ia mempunyai suara merdu. Masa hidupnya sekitar abad ke-8 M.
Imam Abdurrahman al-Sulami mengatakan:
كانت تنزل الأبلة، وكانت عجيبة، حسنة الصوت، طيبة النغمة، تعظ الناس يقرأ لهم، ويحضرها الزهاد والعباد والمتقربة
“Sya’wanah tinggal di Ubullah. Ia seorang perempuan mengagumkan, bersuara merdu, bagus bacaan (Alquran)-nya, memberi nasihat kepada banyak orang (dengan) membacakan kepada mereka (ayat-ayat Allah dan sunnah nabi-Nya). Hadir (di majelis)-nya orang-orang zuhud, ahli ibadah, dan orang yang sedang berupaya mendekati Allah.” (Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzikr al-Niswah al-Mura’abbidât al-Shûfiyyât, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003, h. 394).
Ia merupakan salah satu dari sekian banyak sufi wanita yang menikah dan mempunyai anak. Ia adalah bukti bahwa menikah dan membesarkan anak tidak menghalangi peningkatan spiritual seseorang.
Menurut Camile Adams Helminski, Sya’wanah adalah wanita yang sangat terkesan dengan keterbatasannya sendiri dalam mengabdi kepada Tuhan, dan wanita yang sangat merindukan persatuan atau perjumpaan dengan Sang Pencipta, sehingga ia terus menangis (Camile Adams Helminski, Women of Sufism, A Hidden Treasure: Writings and Stories of Mystic Poets, Scholars & Saints, Boston: Shambala Publications, Inc., 2003, h. 62).
Apa yang ditulis Camile Adams Helminski bisa dilacak di khazanah Islam klasik. Misalnya di kitab Shifah al-Shafwahnya Imam Abu al-Farj Ibnu al-Jauzi (w. 597 H). Di dalamnya terdapat biografi Sya’wanah.
Ia mengawalinya dengan mengutip riwayat yang disampaikan Mu’adz bin al-Fadl:
معاذ بن الفضل، أبو عون، قال: بكت شعوانة حتي خِفنا عليها العَمي، فقلنا لها في ذلك، فقالت: أعمي والله في الدنيا من البكاء أحبّ إليّ من أن أعمي في الآخرة من النّار
“Mu’adz bin al-Fadl, Abu ‘Aun, ia berkata: “Sya’wanah (sering) menangis hingga kami takut (itu akan) membuatnya buta.” Kemudian kami mengatakan hal itu kepadanya.
Ia menjawab, “Demi Allah, kebutaanku di dunia dari (seringnya) menangis lebih aku sukai daripada kebutaanku di akhirat karena api neraka.” (Imam Abu al-Farj Ibnu al-Jauzi, Shifah al-Shafwah, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2019, juz 2, h. 47).
Mungkin, bagi kebanyakan orang, menangis hingga membutakan mata karena rindu dan cinta kepada Allah adalah hal berlebihan dan tidak masuk akal. Apa gunanya menyakiti diri sendiri seperti itu?
Barangkali itu yang ada di pikiran kita. Namun, kita lupa, bahwa penderitaan baru bisa dikatakan penderitaan ketika orang yang mengalaminya merasa payah, susah, sakit dan tidak menerimanya. Ia benci akan keadaannya dan merasa tidak diberkahi.
Berbeda halnya dengan Sya’wanah, ia berbahagia andai diberi peluang oleh Allah untuk mengalaminya. Ia akan menikmatinya sebagai berkah, dan memeluknya sebagai rahmat.
Baginya, kebutaan di akhirat jauh lebih menyakitkan daripada sekedar kebutaan di dunia. Karena ia tidak akan lagi memiliki kesempatan untuk merindu dan mencinta Tuhannya.