Mari Kita Memulai Belajar 'Mudik' Abadi

, Jurnalis
Selasa 11 Mei 2021 15:00 WIB
Suasana mudik Lebaran sebelum masa pandemi Covid-19. (Foto: Okezone)
Share :

ALLAHU akbar Allaahu akbar Allaahu akbar, laa illaa haillallahuwaallaahuakbar Allaahu akbar walillaahil hamd" Apa yang ada di benak Anda ketika mendengar kalimat takbir dan tamid itu, selepas berbuka puasa di hari terakhir bulan Ramadhan? Saya bertanya khusus kepada para perantau yang sudah lama tak bersua orangtua, atau kalaupun tinggal bersama, keduanya atau salah satu sudah meninggal dunia? Terserah, masih singel atau sudah berkeluarga, apa yang Anda rasakan?

Saya akan mencoba menjawab, mewakili—yang saya duga--sebagian besar dari perasaan itu; yaitu RINDU. Saya bisa menjawabnya karena merupakan kelompok pertama. Saya pernah, suatu kali ketika masih membujang tidak bisa pulang lantaran pekerjaan, rasanya nelangsa sekali hati ini. Rindu, kangen ingin bertemu orang tua seharusnya bisa kapan saja, tapi mengapa terasa sangat berbeda bila ada suara kalimat tersebut? Sampai sekarang, meskipun sudah berkeluarga dan terpisahkan oleh pulau, rasa itu tak hilang meskipun sedikit reda. "Allah maha besar Allah maha besar Allah maha besar. Tiada Tuhan selain Allah, Allah maha besar Allah maha besar dan segala puji bagi Allah". Demikian kurang lebih artinya.

Kembali ke rumah, ingin sekali bertemu mereka. Itulah yang ingin dilakukan saat perasaan itu muncul, dan untuk beberapa orang yang tidak melow sekalipun, menitikan air mata adalah hal biasa. Ya, itulah yang bisa menjelaskan mengapa fenomena mudik tak pernah bisa hilang, bahkan semakin menguat meskipun dunia modern sudah bisa memberikan beberapa solusi jitu.

Ada telpon, bahkan video call yang mempertemukan tidak hanya suara, tapi sosok yang benar-benar nyata. Tapi, itu semua tak mengubah rasa rindu, meskipun harus diakui amat membantu meredakan. Saya bahkan yakin, meskipun nanti telekomunikasi sudah berwujud tiga dimensi, mudik virtual tak akan bisa menggantikan mudik fisik. Ada sentuhan, jasmaniah seperti sungkem, berpelukan yang tidak bisa tergantikan oleh mesin ciptaan manusia.

Mengapa kita ingin kembali ke rumah? Saya ingin melihatnya dalam kacamata spiritual, karena bagi saya ada dua dimensi dalam diri manusia yang bisa menjelaskan mengapa hal itu bisa terjadi kepada manusia, bukan hanya muslim. Sebab kalau disandingkan fenomena mudik di Indonesia tak seberapa dibandingkan dengan keriuhan Imlek di Tionghoa.

Al Quran, yang mengemban dua beban sekaligus, yaitu kitab manusia dan kitab suci orang Islam bisa membantu menjelaskannya. “Dan Dialah yang menidurkan kamu pada malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari. Kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umurmu yang telah ditetapkan. Kemudian kepada-Nya tempat kamu kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Al-An'am 6:60) Anda akan jumpai banyak sekali ayat-ayat Quran dengan ending seperti itu, “….hanya kepada Allah lah kamu akan kembali,”.

Lantas apa hubungannya dengan mudik? Ayat yang lain dalam Quran ini bisa memberikan petunjuk. “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang tuanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu, hanya ke pada-Kulah kembalimu”. (QS Lukman: 14).

Ayat tersebut menempatkan, orangtua sebagai pihak kedua setelah Allah dalam bersyukur, karenanya tidak mengherankan bila dalam sebuah riwayat hadist, Nabi Muhammad SAW menempatkan berbakti kepada orang tua di atas Jihad di jalan Allah yang ganjarannya kontan Surga tanpa hisab. Tak heran pula sebuah pernyataan lain menyebutkan---saya lupa ini hadist atau bukan—bahwa bila menyembah orang tua bukanlah perbuatan syirik terhadap Alllah, maka umat Muhammad Saw sudah diperintahkan menyembah kedua orang tuanya.

Frasa kembali pada ayat di surat Lukman itu menjelaskan dua tafsir; jelas dan samar. Pertama, semua manusia, entah dia beriman atau kafir bila meninggal ruh akan kembali atau mudik kepada sang pencipta, Allah. Kedua, orang tua adalah perantara setiap manusia—kecuali moyang kita Adam As—ada di dunia, maka itu asal muasal fisik atau jasad kita adalah dari percampuran sperma dan indung telur mereka. Merekalah muasal setiap manusia di dunia. Maka ada dua dimensi dalam setiap manusia, yaitu fisik badan dan dimensi spiritual, yaitu ruh Allah yang ditiupkan di dalamnya.

Tidak mengherankan pula bila, panggilan ‘rindu untuk kembai’ itu selalu datang pada momen-momen spesial, seperti Idul Fitri atau hendak menikah. Pada Idul Fitri terkait momen dalam Islam bahwa inilah saat manusia seharusnya kembali ke fitra/suci setelah satu bulan proses pembersihan selama Ramadhan, sementara menikah adalah momen ketika manusia ingin menjadi manusia seutuhnya, sehingga perlu izin dan restu asal dia ada. Dengan kata lain mudik adalah perwujudan ‘kembali’ kepada Nya dalam versi jasad atau temporer, dan mati adalah momen dimana orang akan mudik permanen atau kekal.

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Muslim lainnya