DALIL tentang badal haji terdapat dalam hadits Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassallam. Badal secara harafiah berarti pengganti atau wakil, jadi badal haji sama juga dengan mewakili seseorang berhaji.
Adapun ketentuan orang yang melakukan badal haji harus sudah lebih dulu melaksanakan ibadah haji secara sempurna. Dalam hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam yang diriwayatkan Ibnu Abbas:
"Seorang perempuan dari Bani Juhainah datang kepada Rasulullah bertanya, 'Rasulullah, ibuku pernah bernadzar ingin melaksanakan ibadah haji, hingga beliau meninggal, padahal dia belum melaksanakan ibadah haji tersebut, apakah aku bisa menghajikannya?
Rasulullah menjawab, 'Hajikanlah untuknya. Kalau ibumu punya utang, kamu juga wajib membayarnya bukan? Bayarlah utang Allah, karena hak Allah lebih berhak untuk dipenuhi'." (HR Bukhari dan An-Nasa'i)
Dalam istilah haji, orang yang menghajikan orang lain disebut mubdil. Badal dapat dilakukan berdasarkan beberapa dalil dan rujukan riwayat.
Membadalkan orang yang meninggal dan masih memikul kewajiban haji atau belum menunaikan haji yang telah diikrarkannya. Dengan demikian wajib bagi walinya untuk menyiapkan orang (badal) yang akan melakukan haji, atas namanya dengan biaya dan hartanya, sebagaimana wali itu wajib membayar utang-utangnya.
Ustadz Achmad Ikrom menjelaskan bahwa dalam praktiknya badal haji sama seperti haji pada umumnya. Syaratnya hanya orang yang membadali sudah pernah berhaji terlebih dahulu.
Orang yang melaksanakan badal haji pun tidak mesti dari pihak keluarga, bisa juga orang lain yang dipercaya mengerjakan ibadah tersebut.
Sebelum melakukan ibadah haji, bagusnya mendahulukan orangtua untuk dibadalkan, misalnya telah wafat dan memiliki nazar berhaji.
"Kalau orangtua pernah nadzar bagusnya didahulukan orangtua, tapi kalau tidak pernah nadzar ya sebagai anak hendaklah berhaji. Tapi kalaupun didahulukan orangtua, posisi sang anak pun tidak bisa menghajikannya karena sang anak juga belum pernah haji," jelas Ustadz Achmad Ikrom.
Meski dalam praktiknya sama seperti haji pada umumnya, niat yang dikerjakan untuk badal haji berbeda, yaitu:
نَوَيْتُ الحَجَّ عَنْ فُلَانٍ وَأَحْرَمْتُ بِهِ للهِ تَعَالَى
Nawaytul hajja ‘an fulān (sebut nama jamaah haji yang dibadalkan) wa ahramtu bihī lillāi ta‘ālā.
Artinya: "Aku menyengaja ibadah haji untuk si fulan (sebut nama jamaah yang dibadalkan) dan aku ihram haji karena Allah Ta'ala."
Selain dalil tersebut, hukum badal haji juga disampaikan dalam riwayat lain:
"Dari Abdullah bin Buraidah radhiallahu anhu, dia berkata, ketika kami duduk di sisi Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam, tiba-tiba ada seorang wanita datang dan bertanya, 'Sesungguhnya aku bersedakah budak untuk ibuku yang telah meninggal.' Beliau bersabda, 'Kamu mendapatkan pahalanya dan dikembalikan kepada Anda warisannya.' Dia bertanya, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya beliau mempunyai (tanggungan) puasa sebulan, apakah aku puasakan untuknya?' Beliau menjawab, 'Puasakan untuknya.' Dia bertanya lagi, 'Sesungguhnya beliau belum pernah haji sama sekali, apakah (boleh) aku hajikan untuknya?' Beliau menjawab, 'Hajikan untuknya'." (HR Muslim nomor 1149)
Jika menyimak hadits tersebut, tidak hanya haji yang dapat dibadalkan, melainkan ibadah seperti puasa juga dapat digantikan. "Selain haji, ada ibadah lain yang juga bisa dibadalkan, itu haditsnya." Pungkas dia.
Wallahu a'lam bisshawab.
(Hantoro)