NIAT bayar fidyah untuk ibu hamil. Para ulama masih terjadi perbedaan pendapat, apakah ibu hamil dan menyusui harus qadha puasa, ataukah cukup fidyah, ataukah mesti menunaikan kedua-duanya?
Namun yang jelas jika ibu hamil dan menyusui merasa berat untuk berpuasa, entah khawatir pada bayi maupun dirinya sendiri, maka boleh tidak berpuasa.
Dilansir Rumaysho.com, Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal M.Sc menjelaskan bahwa berdasarkan riwayat dari Anas bin Malik, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ وَعَنْ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ
"Sesungguhnya Allah meringankan separuh sholat dari musafir, juga puasa dari wanita hamil dan menyusui." (HR An-Nasa'i nomor 2274 dan Ahmad 5/29. Syekh Al Albani dan Syekh Syu'aib Al Arnauth mengatakan hadits ini hasan)
Niat Fidyah
Niat qadha puasa Ramadhan atau membayar fidyah cukup diungkapkan dalam hati. Niat sendiri berarti al-qashdu atau keinginan.
Niat puasa berarti keinginan untuk berpuasa. Letak niat adalah di dalam hati, tidak cukup dalam lisan, tidak disyaratkan melafadzkan niat. Berarti, niat dalam hati saja sudah teranggap sahnya.
Ulama besar Muhammad Al Hishni berkata:
لاَ يَصِحُّ الصَّوْمَ إِلاَّ بِالنِّيَّةِ لِلْخَبَرِ، وَمَحَلُّهَا القَلْبُ، وَلاَ يُشْتَرَطُ النُّطْقُ بِهَا بِلاَ خِلاَفٍ
"Puasa tidaklah sah kecuali dengan niat karena ada hadits yang mengharuskan hal ini. Letak niat adalah di dalam hati dan tidak disyaratkan dilafazkan." (Kifayah Al-Akhyar, halaman 248)
Cara Membayar Fidyah
Cara membayar fidyah utang puasa Ramadhan dengan memberi 1 mud makanan pokok kepada orang miskin. Adapun takaran 1 mud makanan pokok setara dengan 675 gram.
Waktu mengeluarkan fidyah boleh setiap hari yang ditinggalkan puasanya atau digabung pada akhir bulan Ramadhan. Adapun niatnya juga cukup diungkapkan dalam hati.
Perbedaan Pendapat Ulama
Imam Nawawi rahimahullah berkata bahwa para ulama dalam masalah qadha' dan fidyah bagi ibu hamil dan menyusui memiliki empat pendapat.
Pendapat pertama: Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, dan Sa’id bin Jubair berpendapat bahwa boleh keduanya tidak puasa dan ada kewajiban fidyah, namun tidak ada qadha' bagi keduanya.
Pendapat kedua: ‘Atho’ bin Abi Robbah, Al Hasan, Adh-Dhohak, An-Nakho'i, Az-Zuhri, Robi’ah, Al Awza’i, Abu Hanifah, Ats-Tsauri, Abu ‘Ubaid, Abu Tsaur, dan ulama Zhahiri berpendapat keduanya boleh tidak puasa namun harus meng-qadha', tanpa ada fidyah. Keadaannya dimisalkan seperti orang sakit.
Pendapat ketiga: Imam Syafi'i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa keduanya boleh tidak puasa, namun wajib menunaikan qadha' dan fidyah sekaligus. Pendapat ini juga dipilih oleh Mujahid.
Pendapat keempat: Imam Malik berpendapat bahwa wanita hamil boleh tidak puasa, namun harus meng-qadha' tanpa ada fidyah. Tapi untuk wanita menyusui, ia boleh tidak puasa, namun harus meng-qadha' sekaligus menunaikan fidyah. Ibnul Mundzir setelah menyebutkan pendapat-pendapat ini, ia lebih cenderung pada pendapat 'Atho' yang menyatakan ada kewajiban qadha', tanpa fidyah. (Lihat Al Majmu’, 6: 178)
Tetap Ada Qadha'
Asy-Syairozi, salah seorang ulama Syafi'i, berkata, "Jika wanita hamil dan menyusui khawatir pada diri mereka sendiri, maka mereka boleh tidak puasa dan punya kewajiban qadha’ tanpa ada kafarah. Keadaan mereka seperti orang sakit. Jika keduanya khawatir pada anaknya, maka keduanya tetap menunaikan qadha’, namun dalam hal kafarah ada tiga pendapat." (Al Majmu’, 6: 177)
Imam Nawawi berkata, "Wanita hamil dan menyusui ketika tidak berpuasa karena khawatir pada keadaan dirinya, maka keduanya boleh tidak puasa dan punya kewajiban qadha’. Tidak ada fidyah ketika itu seperti halnya orang yang sakit. Permasalahan ini tidak ada perselisihan di antara para ulama. Begitu pula jika khawatir pada kondisi anak saat berpuasa, bukan pada kondisi dirinya, maka boleh tidak puasa, namun tetap ada qadha’. Yang ini pun tidak ada khilaf. Namun untuk fidyah diwajibkan menurut madzhab Syafi'i." (Al Majmu', 6: 177)
Tidak Tepat Hanya Fidyah
Sedangkan mewajibkan hanya menunaikan fidyah bagi ibu hamil dan menyusui tidaklah tepat. Ibnu Qudamah berkata, "Wanita hamil dan menyusui adalah orang yang masih mampu meng-qadha’ puasa (tidak sama seperti orang yang sepuh). Maka qadha’ tetap wajib sebagaimana wanita yang mengalami haidh dan nifas. Sedangkan dalam surat Al Baqarah Ayat 184 menunjukkan kewajiban fidyah, namun itu tidak menafikan adanya qadha’ puasa karena pertimbangan dalil yang lain. … Imam Ahmad sampai berkata, “Aku lebih cenderung memegang hadits Abu Hurairah dan tidak berpendapat dengan pendapat Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar yang berpendapat tidak wajibnya qadha’.” (Al Mughni, 4: 395)
Syekh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berkata, “Lebih tepat wanita hamil dan menyusui dimisalkan seperti orang sakit dan musafir yang punya kewajiban qadha’ saja (tanpa fidyah). Adapun diamnya Ibnu ‘Abbas tanpa menyebut qadha’ karena sudah dimaklumi bahwa qadha’ itu ada." (Syarhul Mumthi’, 6: 350. Lihat pula pendapat Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz dalam Majmu’ Al Fatawa Ibnu Baz, 15: 225 dan Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman bin Jibrin dalam Syarh ‘Umdatul Fiqh, 1: 576-577)
Kewajiban qadha’ saja yang menjadi pendapat ‘Atho’ bin Abi Robbah dan Imam Abu Hanifah. Inilah pendapat terkuat dari pendapat para ulama yang ada. Sehingga wanita hamil dan menyusui masih terkena ayat:
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
"Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain." (QS Al Baqarah: 185)
Ringkasnya, pendapat yang lebih cenderung adalah yang menyatakan bahwa ibu hamil dan menyusui saat tidak puasa, maka ia harus tetap meng-qadha' puasa, tidak dengan fidyah saja. Adanya qadha’ di sini sudah ma'ruf di tengah-tengah para sahabat dan para ulama. Inilah pendapat yang lebih tepat.
Itulah penjelasan mengenai niat bayar fidyah untuk ibu hamil. Allahu a'lam.
(Hantoro)