JAKARTA – Dalam Islam, zakat tidak hanya diwajibkan sebagai aspek finansial, tetapi juga sebagai bentuk penyucian harta dan pengakuan akan asal rezeki dari Allah. Zakat perdagangan merupakan salah satu jenis zakat yang memiliki posisi penting karena terkait dengan aktivitas ekonomi yang dinamis.
Sebelum membahas metode perhitungannya, perlu dipahami bahwa objek zakat perdagangan mencakup persediaan barang dagangan yang diperjualbelikan, sementara aset tetap atau peralatan usaha yang digunakan sebagai sarana penunjang—dan bukan untuk dijual—tidak termasuk dalam harta yang wajib dizakati.
Berikut cara menghitung zakat perdagangan sebagaimana dilansir dari laman resmi Nahdlatul Ulama.
Dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji dijelaskan bahwa:
لَا يَدْخُلُ فِي الْأُمُورِ التِّجَارِيَّةِ الَّتِي يَجِبُ تَقْوِيمُهَا الْأَثَاثُ وَمَا فِي مَعْنَاهُ، وَالْأَجْهِزَةُ الْمَوْجُودَةُ فِي الْمَحَلِّ لِقَصْدِ الِاسْتِعَانَةِ بِهَا لَا لِقَصْدِ بَيْعِهَا، فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهَا مَهْمَا بَلَغَتْ قِيمَتُهَا.
Artinya, “Tidak termasuk dalam harta perdagangan yang wajib dinilai (untuk zakat) adalah perabotan dan yang semakna dengannya, serta peralatan yang ada di toko untuk tujuan digunakan (membantu usaha), bukan untuk dijual. Maka, tidak ada zakat atasnya, seberapa pun besar nilainya.” (Mushthafa al-Khin dkk, al-Fiqh al-Manhaji ‘Ala Madzhab al-Syafi’i, [Damaskus: Dar al-Qalam, 1992], juz II, hlm. 44).
Penilaian terhadap persediaan barang dagangan dilakukan berdasarkan harga pasar barang tersebut pada saat zakat dikeluarkan. Menurut al-Qardhāwi, yang dimaksud dengan harga pasar di sini adalah سِعْرُ الْجُمْلَة atau yang dikenal dengan istilah wholesale price, yakni harga grosir. (Yusuf Al-Qardhawi, Fiqh al-Zakah [Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 1973], hlm. 337)
Kedua, uang, baik berupa kas (uang tunai) maupun saldo di bank, digabungkan dengan persediaan barang dagangan sebagai objek zakat. Dalam al-Mughni disebutkan:
فَإِنَّ عُرُوضَ التِّجَارَةِ تُضَمُّ إِلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، وَيَكْمُلُ بِهِ نِصَابُهُ. لَا نَعْلَمُ فِيهِ اخْتِلَافًا. قَالَ الْخَطَّابِيُّ: لَا أَعْلَمُ عَامَّتَهُمْ اخْتَلَفُوا فِيهِ؛ وَذَلِكَ لِأَنَّ الزَّكَاةَ إنَّمَا تَجِبْ فِي قِيمَتِهَا، فَتُقَوَّمُ بِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا، فَتُضَمُّ إِلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا. وَلَوْ كَانَ لَهُ ذَهَبٌ وَفِضَّةٌ وَعُرُوضٌ، وَجَبَ ضَمُّ الْجَمِيعِ بَعْضِهِ إِلَى بَعْضٍ فِي تَكْمِيلِ النِّصَابِ؛ لِأَنَّ الْعَرْضَ مَضْمُومٌ إِلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا، فَيَجِبُ ضَمُّهُمَا إِلَيْهِ، وَجَمْعُ الثَّلَاثَةِ
Artinya, “Sesungguhnya harta dagangan digabungkan dengan masing-masing emas dan perak (uang), dan dengannya disempurnakan nisabnya. Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal ini. Al-Khaththabi berkata: Aku tidak mengetahui bahwa kebanyakan ulama berbeda pendapat tentang hal ini, karena zakat itu wajib atas nilainya, maka barang dagangan dinilai dengan masing-masing (emas atau perak), kemudian digabungkan dengan salah satunya. Dan apabila seseorang memiliki emas, perak, dan barang dagangan, maka wajib menggabungkan semuanya sebagian dengan sebagian yang lain untuk menyempurnakan nishab, sebab barang dagangan itu digabungkan dengan masing-masing dari keduanya; maka wajiblah menggabungkannya dan menghimpun ketiganya.” (Ibn Qudamah, al-Mughni, [Maktabah al-Qahirah, 1969], jilid III, hlm. 36).
Dalam kitab al-Bujairimi juga disebutkan hal yang sama:
لَوْ كَانَ مَعَهُ مِائَةُ دِرْهَمٍ فَابْتَاعَ بِخَمْسِينَ مِنْهَا وَبَلَغَ مَالُ التِّجَارَةِ آخِرَ الْحَوْلِ مِائَةً وَخَمْسِينَ فَيُضَمُّ لِمَا عِنْدَهُ وَيَجِبُ زَكَاةُ الْجَمِيعِ
Artinya, “Seandainya seseorang memiliki seratus dirham, lalu ia membeli barang dagangan dengan lima puluh dirham darinya, kemudian pada akhir tahun harta dagangannya mencapai seratus lima puluh dirham, maka harta itu digabungkan dengan harta yang ada padanya, dan zakat wajib atas seluruhnya,” (Sulaiman al-Bujairimi, Hasyiah al-Bujairimi 'ala al-Khatib, [Bairut: Dar al-Fikr, 1995], jilid II, hlm. 334).
Ketiga, para ulama berbeda pendapat mengenai nisab zakat perdagangan, apakah disamakan dengan nisab perak atau emas. Namun, mayoritas ulama kontemporer berpendapat bahwa nisab zakat perdagangan disamakan dengan nisab emas, yaitu senilai 85 gram emas. Penjelasan lebih rinci mengenai hal ini, beserta dalil-dalilnya, dapat dibaca dalam buku penulis Pengantar Lengkap Zakat Kontemporer.
Keempat, penilaian nisab terhadap objek zakat dilakukan hanya pada akhir tahun. Dalam Mughni al-Muhtaj disebutkan:
شَرْطُ زَكَاةِ التِّجَارَةِ الْحَوْلُ، وَالنِّصَابُ مُعْتَبَرًا بِآخِرِ الْحَوْلِ) فَقَطْ؛ لِأَنَّهُ وَقْتُ الْوُجُوبِ فَلَا يُعْتَبَرُ غَيْرُهُ لِكَثْرَةِ اضْطِرَابِ الْقِيَمِ)
Artinya, “Syarat zakat perdagangan adalah telah berlalu satu tahun (haul), dan nisab-nya dihitung berdasarkan akhir tahun (haul) saja, karena saat itulah kewajiban zakat berlaku. Waktu selain itu tidak diperhitungkan karena sering terjadi fluktuasi nilai harga.”
Kelima, secara umum perhitungan tahun dalam zakat menggunakan kalender Hijriah (Qamariyyah), dan zakat yang dikeluarkan sebesar 2,5% dari objek zakat. Namun, dalam konteks modern, penerapan kalender Hijriah sering kali sulit dilakukan karena laporan keuangan menggunakan kalender Masehi (Syamsiyyah). Oleh karena itu, Baitul Mal Kuwait memperbolehkan penggunaan kalender Masehi apabila terdapat kesulitan. Dalam fatwanya disebutkan:
اما إذا تعسَّر مراعاةُ الحَوْلِ القَمريِّ- بسببِ ربْط ميزانيَّة الشَّرِكة أو المؤسَّسة بالسَّنةِ الشَّمسيَّة- فإنَّه يجوزُ مراعاةُ السَّنة الشمسيَّة، وتزدادُ النِّسبةُ المذكورةُ بنسبة عددِ الأيَّامِ التي تزيد بها السَّنةُ الشَّمسيَّة على القمريَّةِ، فتكون النِّسبةُ عندئذ (2.577 في المائة)
Artinya, “Jika sulit menggunakan tahun Qamari (Hijriah) karena pengikatan anggaran perusahaan atau lembaga pada tahun Syamsiyyah (Masehi), maka diperbolehkan menggunakan kalender Syamsiyyah. Persentase zakatnya bertambah sesuai jumlah hari tambahan pada kalender Syamsiyyah dibanding kalender Qamariyyah, sehingga nisbah zakat menjadi 2,577%,” (Baitul Mal Kuwait, Ahkam wa Fatawa al-Zakah wa al-Shadaqat wa al-Nudzur wa al-Kaffarat [Kuwait: Maktabah al-Syu’un al-Syar’iyyah, 2009], hlm. 21).
Sebagaimana diketahui, jumlah hari dalam kalender Masehi adalah 365 hari, sedangkan kalender Hijriah berjumlah 354 hari, selisih sekitar 11 hari. Maka, perhitungan zakat sebesar 2,577% berasal dari rumus: 2,5% × (365 ÷ 354) = 2,577%.
Adapun cara praktis menghitung zakat perdagangan dapat merujuk pernyataan Maimun bin Mihran yang diriwayatkan oleh Abu Ubaid dalam kitab al-Amwal berikut:
عَنْ مَيْمُونِ بْنِ مِهْرَانَ، قَالَ: «إِذَا حَلَّتْ عَلَيْكَ الزَّكَاةُ فَانْظُرْ إِلَى كُلِّ مَالٍ لَكَ، وَكُلَّ دَيْنٍ فِي مَلَاءَةٍ فَاحْسِبْهُ، ثُمَّ أَلْقِ مِنْهُ مَا عَلَيْكَ مِنَ الدَّيْنِ، ثُمَّ زَكِّ مَا بَقِيَ» قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ: فَهَذَا مَا جَاءَ فِي الدَّيْنِ الْمَرْجُوِّ الَّذِي يُزَكِّيهِ مَعَ مَالِهِ
Artinya: “Dari Maimun bin Mihran, ia berkata: ‘Jika waktu zakat telah tiba, lihatlah seluruh harta yang kamu miliki, termasuk semua piutang yang masih bisa ditagih. Kemudian kurangkan dari total tersebut semua utang yang menjadi tanggunganmu, dan bayarlah zakat dari sisanya.’ Abu Ubaid menambahkan: ‘Hal ini berlaku untuk piutang yang masih diharapkan kembali,’” (Abu Ubaid, al-Amwal li Abi Ubaid [Beirut: Dar al-Fikr, tanpa tahun], hlm. 527).
Berdasarkan penjelasan tersebut, rumus perhitungan zakat perdagangan dapat dirumuskan sebagai:
Itulah cara menghitung zakat perdagangan menurut syariat Islam, semoga membantu.
(Rahman Asmardika)