JAKARTA – Shalat berjamaah adalah ibadah yang memiliki keutamaan dan pahala besar, jauh di atas shalat sendirian. Tak hanya mempererat hubungan sesama Muslim, shalat berjamaah juga menumbuhkan rasa persaudaraan dan kebersamaan di tengah umat.
Dalam pelaksanaannya, setiap makmum berdiri sejajar tanpa memandang status sosial, kekayaan, atau jabatan. Semua menghadap kiblat dengan dipimpin seorang imam yang menjadi teladan dalam gerakan dan bacaan. Karena itu, posisi imam memikul tanggung jawab besar, tidak hanya memastikan kesahihan ibadah, tetapi juga menjaga kemaslahatan jamaah.
Namun, di sebagian tempat, masih dijumpai fenomena imam yang bacaan shalatnya terlalu panjang. Meski motifnya baik, misalnya ingin meniru shalat Rasulullah dan para salafus shalih, hal tersebut justru menimbulkan ketidaknyamanan bagi sebagian makmum.
Lantas, bagaimana anjuran dan tuntunan syariat terkait hal ini? Berikut penjelasannya sebagaimana disampaikan NU Online.
Dalam sebuah riwayat dikisahkan bagaimana Sahabat Muadz pernah ditegur oleh Rasulullah saw karena bacaan ayatnya yang terlalu panjang. Diriwayatkan dari Sahabat Jabir bin Abdullah ra:
أَنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، كَانَ يُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ يَأْتِي قَوْمَهُ فَيُصَلِّي بِهِمُ الصَّلاَةَ، فَقَرَأَ بِهِمُ البَقَرَةَ، قَالَ: فَتَجَوَّزَ رَجُلٌ فَصَلَّى صَلاَةً خَفِيفَةً، فَبَلَغَ ذَلِكَ مُعَاذًا، فَقَالَ: إِنَّهُ مُنَافِقٌ، فَبَلَغَ ذَلِكَ الرَّجُلَ، فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّا قَوْمٌ نَعْمَلُ بِأَيْدِينَا، وَنَسْقِي بِنَوَاضِحِنَا، وَإِنَّ مُعَاذًا صَلَّى بِنَا البَارِحَةَ، فَقَرَأَ البَقَرَةَ، فَتَجَوَّزْتُ، فَزَعَمَ أَنِّي مُنَافِقٌ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا مُعَاذُ، أَفَتَّانٌ أَنْتَ - ثَلاَثًا - اقْرَأْ: وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا وَسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى وَنَحْوَهَا
Artinya: "Sesungguhnya Muadz ra pernah shalat bersama Nabi. kemudian ia mendatangi kaumnya dan shalat bersama mereka (menjadi imam) dengan membaca Surat al-Baqarah. Kemudian laki-laki itu mufaraqah dan shalat dengan shalat yang ringan (cepat). Hal tersebut kemudian diketahui oleh Muadz, lalu berkata, “Kamu munafiq”.
Hal itu sampai kepada laki-laki tadi, kemudian ia mendatangi Nabi saw seraya berkata, “Kami adalah kaum yang bekerja dengan tangan-tangan kami, dan kami memberi minum unta-unta kami. Sementara Muadz shalat bersama kami di pagi hari lalu membaca surat al-Baqarah, lantas aku mufaraqah, dan dia mengira bahwa saya munafiq.”
Rasulullah Saw. bersabda, “Wahai Muadz, apakah kamu ingin membuat fitnah! (Beliau saw mengulanginya tiga kali). Bacalah Wasysyamsi wa Dhuhaha dan Sabbihisma Rabbikal A’la atau yang seumpamanya." (HR Al-Bukhari).
Dalam hadis Nabi saw memberi peringatan keras kepada Sahabat Muadz bin Jabal agar tidak membaca surat yang terlalu panjang ketika sedang menjadi imam. Peringatan tersebut juga berlaku kepada seluruh umat islam yang menjadi mam agar tidak membaca surat yang terlalu panjang ketika mengimami shalat. Pasalnya, shalat berjamaah yang terlalu panjang berpotensi menimbulkan gangguan dan bahkan pengingkaran dari jamaah, sebagaimana dalam kisah Sahabat Muadz ra.
Dalam konteks shalat berjamaah, imam harus mampu memperhatikan kondisi makmum yang shalat di belakangnya. Terlebih jika shalat jamaah dilakukan di masjid jami’ yang berada di pinggir jalan misalnya, yang jamaahnya notabene adalah orang-orang yang sedang singgah sementara dari berbagai kesibukan masing-masing. Terkait hal ini, Rasulullah saw bersabda:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِلنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ، فَإِنَّ فِي النَّاسِ الضَّعِيفَ، وَالسَّقِيمَ وَذَا الْحَاجَةِ
Artinya: "Jika salah seorang diantara kalian shalat bersama orang lain (secara berjamaah) maka hendaklah ia ringankan (persingkat) shalatnya. Karena di antara mereka ada orang yang lemah, orang yang sakit, dan orang yang memiliki hajat/kesibukan." (HR Muslim).
Hadis di atas memberikan penegasan bahwa ketika seseorang sedang menjadi imam shalat hendaklah ia mempersingkat shalatnya. Hal ini dilakukan karena mempertimbangkan kondisi makmum yang tidak seragam. Dalam jamaah, barangkali ada orang yang sedang sakit, sudah tua atau orang yang sedang terburu-buru yang kebetulan ikut shalat berjamaah.
Akan tetapi, larangan untuk memperpanjang durasi shalat dalam hadis dilandaskan pada suatu alasan, yaitu masyaqqah atau kesulitan yang dialami makmum ketika shalat terlalu lama. Sehingga, jika faktor-faktor yang mengharuskan imam shalat dengan durasi cepat tidak dijumpai, tidak masalah shalat dengan durasi yang panjang. Imam Ibnu Hajar Al-Haitami menjelaskan:
ومقتضاه أنه متى لم يكن فيهم متصف بصفة من المذكورات لم يضر التطويل
Artinya: "Implikasinya (dari adanya illat hukum itu), manakala di antara para jamaah tidak ditemukan orang-orang yang memiliki kriteria tersebut (sebagaimana disebutkan dalam hadis, seperti sakit, tua, dan seterusnya), maka tidak masalah memperpanjang shalat." (Ibnu Hajar al-Asqallani, Fathul Bari, [Beirut, Darul Makrifat: 1379 H], juz haIaman, 199).
Karena itu, ulama menyimpulkan bahwa memperlama durasi shalat bagi seorang imam hukumnya makruh. Akan tetapi, jika ia shalat bersama orang-orang tertentu yang rela shalatnya diperlama, maka sunnah hukumnya memperlama shalat. Dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin dijelaskan:
يسن التطويل للمنفرد كإمام محصورين بمسجد غير مطروق لم يطرأ غيرهم ، وقد رضي الجميع لفظاً بتطويله ولم يتعلق بهم حق
Artinya: "Disunahkan memperlama shalat bagi orang yang shalat sendiri, sebagaimana juga imam yang shalat bersama orang-orang tertentu di masjid yang tidak dilewati (orang lain) dan tidak ada orang lain yang datang ikut shalat berjamaah. (Selain itu) mereka semua juga harus menyatakan kesiapan untuk shalat dengan durasi lama secara verbal, dan mereka tidak sedang terikat dengan suatu hak apapun." (Abdurrahman bin Muhammad Ba’alawi, Bughyatul Mustarsyidin, [Damaskus, Darul Fikr: t.th], halaman 89).
Terkait panjang pendeknya durasi shalat, Imam Ibnu Daqiq menjelaskan:
التطويل والتخفيف: من الأمور الإضافية. فقد يكون الشيء طويلا بالنسبة إلى عادة قوم. وقد يكون خفيفا بالنسبة إلى عادة آخرين. وقد قال بعض الفقهاء: إنه لا يزيد الإمام على ثلاث تسبيحات في الركوع والسجود
Artinya: "Lama dan sebentar adalah perkara subjektif. Terkadang, sesuatu dianggap lama oleh suatu kaum, tetapi dianggap singkat oleh kaum yang lain. Sebagian ahli fiqih berkata, “Sesungguhnya, imam tidak menambah atas tiga kali tasbih dalam rukuk dan sujud." (Ihkamul Ahkam Syarah Umdatul Ahkam, juz I, halaman 229).
Mempercepat shalat bukan berarti kita diperintahkan untuk shalat dengan mengambil batas minimal atau mengambil yang fardhu-fardhunya saja. Akan tetapi, cepat yang dimaksud di sini adalah shalat dengan tetap membaca tasbih rukuk dan sujud sebanyak tiga kali sebagai jumlah minimal kesempurnaan, serta ayat yang dibaca juga bukan ayat yang panjang-panjang. Imam An-Nawawi berkata:
يستحب للإمام أن يخفف القراءة والأذكار بحيث لا يترك من الأبعاض والهيئات شيئا ولا يقتصر على الأقل ولا يستوفي الأكمل المستحب للمنفرد من طوال المفصل وأوساطه وأذكار الركوع والسجود
Artinya: "Disunahkan bagi imam untu mempersingkat bacaan dan zikir-zikir (dalam shalat) dengan sekiranya tidak meninggalkan sedikitpu dari sunnah-sunnah ab’ad dan hai’at, tidak mengambil cukup atas batas paling miniml serta tidak melakukan segala hal yang disunnahkan bagi orang yang shalat sendiri berupa surat-surat yang panjang, surat-surat yang sedang dan zikir-zikir rukuk dan sujud." (Al-Majmu' Syarhul Muhaddzab, [Damaskus, Darul Fikr: t.th.], juz IV, halaman 228).
Faktor yang berpotensi menyebabkan durasi shalat terlalu lama biasanya karena ayat yang dibaca terlampau panjang. Karenanya, yang dianjurkan untuk dibaca oleh imam ketika shalat berjamaah adalah surat-surat pendek yang disebut qisharul mufasshal.
Sebagai bacaan dalam shalat, Al-Qur’an terbagi menjadi tiga bagian, thiwalul mufasshal (surat-surat panjang), ausathul mufasshal (surat-surat sedang), dan qisharul mufasshal (surat-surat pendek). Dalam sebuah keterangan, surat-surat yang tergolong qisharul mufasshal adalah ayat dari Ad-Dhuha sampai An-Nas:
وهو من الحجرات إلى عم، والأوساط من عم إلى الضحى، والقصار من الضحى إلى الآخر
Artinya: "Adapun surat-surat panjang (thiwalul mufasshal) adalah dari Al-Hujurat sampai surat An-Naba’. Surat-surat yang sedang (ausathul mufasshal) dari surat An-Naba sampai surat Ad-Dhuha. Sedangkan surat-surat pendek (qisharul mufasshal) ialah dari Ad-Dhuha sampai akhir (An-Nas)." (Sulaiman Al-Bujairami, Hasyiyah Al-Bujairami 'alal Khatib, [Darul Fikr: 1995], juz II, halaman 67).
'Ala kulli hal, sebagai pemimpin, seorang imam dalam shalat berjamaah harus peka terhadap kondisi jamaah. Jika jamaahnya adalah orang-orang tertentu yang sudah terbiasa shalat berjamaah dengan durasi lama, maka tidak masalah untuk memperlama shalat. Namun, jika kondisi makmum bermacam-macam, maka seyogianya imam mempersingkat bacaan-bacaan dalam shalatnya. Wallahu a'lam.
(Rahman Asmardika)