Sayyid Abdurrahman bin Muhammad al-Hadramy menjelaskan bahwa jika jenazah tidak mungkin dimandikan sama sekali, misalnya karena tubuhnya hancur atau hilang, maka shalat jenazah tidak boleh dilakukan, karena syarat penyucian (memandikan) belum terpenuhi.
لَا تَصِحُّ الصَّلَاةُ عَلَى مَنْ أُسِرَ أَوْ فُقِدَ أَوْ انْكَسَرَتْ بِهِ سَفِينَةٌ، وَإِنْ تَحَقَّقَ مَوْتُهُ أَوْ حَكَمَ بِهِ حَاكِمٌ إِلَّا إِنْ عُلِمَ غُسْلُهُ أَوْ عَلَّقَ النِّيَّةَ عَلَى غُسْلِهِ إِذِ الْأَصَحُّ أَنَّهُ لَا يَكْفِي غَرَقُهُ، وَلَا يَجُوزُ مَعَ تَعَذُّرِ الْغُسْلِ خِلَافًا لِلْأَذْرَعِيِّ وَغَيْرِهِ
Artinya: “Tidak sah salat (jenazah) atas orang yang ditawan (ditahan musuh), atau hilang (tidak diketahui keberadaannya), atau kapalnya pecah (tenggelam), meskipun kematiannya sudah dapat dipastikan atau sudah diputuskan oleh hakim. Kecuali jika diketahui ia telah dimandikan, atau ia menggantungkan niat salatnya pada pemandiannya (jika ia dimandikan), karena pendapat al-ashahh (paling kuat) adalah bahwa tenggelamnya (di air) tidaklah cukup (sebagai ganti memandikan). Dan tidak boleh (salat jenazah) ketika sulit untuk memandikan, berbeda dengan pendapat al-Adzra’i dan ulama lainnya.” (Bughyatul Mustarsyidin, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, t.t.], hlm. 119).
Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami menjelaskan bahwa salah satu syarat sahnya shalat jenazah adalah mayit harus disucikan terlebih dahulu, yaitu dengan cara dimandikan. Karena itu, jika memandikan mayat tidak bisa dilakukan, misalnya karena jenazah jatuh ke dalam lubang dan sulit diangkat, maka shalat jenazah tidak boleh dilakukan.