Apakah Mengazani Bayi yang Baru Lahir Disunnahkan dalam Islam? Ini Penjelasannya

Rahman Asmardika, Jurnalis
Rabu 24 Desember 2025 11:28 WIB
Ilustrasi. (Foto: Unsplash)
Share :

JAKARTA – Menyambut kelahiran anak adalah momen istimewa dalam sebuah keluarga, tak terkecuali keluarga Muslim. Namun, banyak orang tua masih ragu apakah mengazani bayi yang baru lahir termasuk praktik yang disunnahkan dalam agama Islam.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, berikut penjelasan dari hadis dan Al-Qur’an, sebagaimana dilansir dari laman resmi Muhammadiyah.

Hal pertama yang relatif disepakati adalah anjuran mendoakan bayi agar mendapat keberkahan dan perlindungan dari Allah. Dalam hadis sahih riwayat al-Bukhari, Abu Musa meriwayatkan:

عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: وُلِدَ لِي غُلَامٌ فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمَّاهُ إِبْرَاهِيمَ، فَحَنَّكَهُ بِتَمْرَةٍ، وَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ، ثُمَّ دَفَعَهُ إِلَيَّ (رواه البخاري)

“Telah lahir anak bagiku, lalu aku membawanya kepada Nabi Muhammad saw. Beliau memberinya nama Ibrahim, kemudian mengunyahkan kurma dan mengoleskannya ke langit-langit mulutnya, serta mendoakannya dengan keberkahan.” (HR. al-Bukhari)

Hadis ini menunjukkan bahwa doa, pemberian nama yang baik, dan permohonan barakah merupakan fondasi awal yang jelas dalam menyambut kelahiran anak.

 

Doa perlindungan juga memiliki akar kuat dalam Al-Qur’an. Doa istri Imran ketika melahirkan Maryam diabadikan secara eksplisit dalam Al-Qur'an.

فَلَمَّا وَضَعَتْهَا قَالَتْ رَبِّ إِنِّي وَضَعْتُهَا أُنْثَىٰ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا وَضَعَتْ وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنْثَىٰ وَإِنِّي سَمَّيْتُهَا مَرْيَمَ وَإِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

“Maka ketika ia melahirkannya, ia berkata: ‘Ya Tuhanku, sungguh aku melahirkannya seorang perempuan,’ dan Allah lebih mengetahui apa yang ia lahirkan, ‘dan laki-laki tidaklah seperti perempuan. Aku menamainya Maryam, dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada-Mu dari setan yang terkutuk.’” (QS. Ali ‘Imran [3]: 36)

Ayat ini menegaskan bahwa permohonan perlindungan spiritual bagi bayi merupakan praktik doa yang sangat awal, bahkan sejak kelahiran.

Rujukan penting lain terkait perlindungan anak datang dari hadis Ibnu Abbas tentang doa Nabi Muhammad saw. kepada Hasan dan Husain:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَوِّذُ الْحَسَنَ وَالْحُسَيْنَ، وَيَقُولُ: «إِنَّ أَبَاكُمَا كَانَ يُعَوِّذُ بِهَا إِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ: أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ، وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ». (رواه البخاري)

“Nabi Muhammad saw. memohonkan perlindungan untuk Hasan dan Husain seraya bersabda: ‘Sesungguhnya ayah kalian (Nabi Ibrahim) dahulu memohonkan perlindungan dengan doa ini untuk Ismail dan Ishaq: Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari setiap setan, binatang berbisa, dan dari setiap pandangan mata yang jahat.’” (HR. al-Bukhari)

Sekali lagi, yang ditekankan adalah doa dan perlindungan, bukan ritual tertentu yang baku.

 

Perdebatan Tentang Azan di Telinga Bayi

Karena itulah perdebatan tentang azan di telinga bayi muncul. Pasalnya, praktik ini bisa dianggap sebagai sebuah ritual dari orang tua terhadap bayinya.

Dalam masyarakat Muslim, azan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri bayi sering dianggap sebagai sunnah. Namun, dalam Muhammadiyah praktik ini tidak diterima sebagai sunnah yang kuat.

Hadis yang sering dijadikan dasar adalah riwayat dari Ubaidillah bin Abi Rafi’:

َنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي رَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ. (رواه أبو داود)

“Ubaidillah bin Abi Rafi’ meriwayatkan dari ayahnya, ia berkata: ‘Aku melihat Rasulullah saw. mengumandangkan azan di telinga Hasan bin Ali ketika Fatimah melahirkannya.’” (HR. Abu Dawud)

Namun, sebagaimana disebutkan dalam literatur hadis, hadis ini dinilai lemah. Karena itu, Muhammadiyah dalam buku Tanya Jawab Agama menyatakan bahwa hadis ini tidak dapat dijadikan dasar sunnah yang mapan.

Penjelasan alternatif yang dikemukakan adalah konteks waktu. Azan tersebut bisa dipahami sebagai azan salat, bukan azan ritual khusus kelahiran, sebab kelahiran Hasan bertepatan dengan waktu salat.

 

Dengan demikian, azan di telinga bayi tidak dapat dipastikan sebagai sunnah Nabi yang bersifat normatif. Namun, makna yang sering dikaitkan dengannya tetap bernilai: kalimat tauhid sebagai suara pertama yang didengar manusia.

Kalimat tayyibah, entah melalui doa, zikir, atau pengasuhan yang penuh kesadaran tauhid, merupakan fondasi pendidikan iman sejak dini. Islam menekankan substansi. Perlindungan dari setan, doa keberkahan, dan penanaman nilai ketuhanan justru memiliki landasan dalil yang jauh lebih kokoh.

Maka, ketika seorang anak lahir, Islam dengan jelas menganjurkan doa, pemberian nama yang baik, dan permohonan perlindungan kepada Allah. Adapun azan di telinga bayi, hal tersebut berada di wilayah ikhtilaf dan tidak dapat ditegaskan sebagai sunnah yang kuat berdasarkan kajian hadis.

(Rahman Asmardika)

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Muslim lainnya