JAKARTA - Hujan deras dan banjir yang melanda sejumlah daerah di Indonesia kerap menimbulkan kerugian materiil. Kerusakan yang diakibatkan bahjir terkadang menghanyutkan berbagai macam barang, bahkan logistik dan berbagai benda lainnya, yang kadang ditemukan oleh orang lain.
Hal ini menimbulkan pertanyaan penting dari sudut pandang hukum Islam. Bagaimana syariat memandang tindakan memunguti barang yang hanyut akibat banjir? Apakah barang tersebut boleh diambil dan dimiliki oleh warga? Pertanyaan ini relevan karena berkaitan langsung dengan prinsip kepemilikan harta dalam fiqih, terutama dalam situasi bencana.
Dilansir dari NU Online, dalam literatur fikih, harta yang terbawa arus banjir lalu terdampar di tanah seseorang dikategorikan sebagai harta hilang atau telantar (māl ḍāyi‘). Artinya, harta tersebut belum lepas dari kepemilikan pemilik aslinya, meskipun keberadaannya sementara berada di tempat orang lain. Status hukum ini telah dijelaskan dan ditegaskan oleh para ulama.
Salah satu penjelasan tersebut disampaikan oleh Syekh Muhammad bin Ahmad bin Umar as-Syatihiri, yang menerangkan ketentuan harta telantar dan kewajiban orang yang menemukannya menurut syariat Islam.
ذَكَرَ الْعُلَمَاءُ فِي الْمَالِ الَّذِي يَحْمِلُهُ السَّيْلُ ثُمَّ يُلْقِيهِ بِأَرْضِ إِنْسَانٍ، قَالُوا: إِنَّهُ مَالٌ ضَائِعٌ
Artinya, “Para ulama menyebutkan tentang harta yang dibawa arus banjir lalu dihanyutkan dan terlempar ke tanah milik seseorang. Mereka mengatakan, harta tersebut termasuk harta yang telantar’.” (Syekh Muhammad bin Ahmad bin Umar as-Syatihiri, Syarhul Yaqutin Nafis, [Lebanon: Darul Minhaj, 2011 M], halaman 506).
Harta yang telantar atau tidak diketahui pemiliknya bukan berarti boleh langsung dimiliki. Dalam pandangan Islam, harta semacam ini tetap terikat dengan hak pemilik aslinya, meskipun keberadaannya tidak diketahui. Karena itu, sikap yang benar bukanlah mengambilnya untuk dimiliki, melainkan menjaganya dengan aman sampai jelas siapa pemiliknya.