Jika pemilik barang tersebut diketahui, maka kewajiban berikutnya adalah mengembalikannya kepada pemiliknya. Dalam konteks ini, barang-barang logistik yang hanyut dari gudang supermarket akibat banjir tetap berstatus sebagai milik pemilik usaha tersebut. Barang-barang itu tidak boleh diambil atau dimanfaatkan oleh pihak lain.
Siapa pun yang menemukannya memiliki tanggung jawab untuk mengamankan dan mengembalikannya kepada pemiliknya. Ketentuan ini ditegaskan oleh Imam al-‘Imrani:
لَوْ أَطَارَتِ الرِّيحُ ثَوْبًا إِلَى بَيْتِهِ، وَعَرَفَ مَالِكَهُ، فَإِنَّ عَلَيْهِ رَدَّهُ إِلَيْهِ
Artinya, “Jika angin menerbangkan sebuah pakaian ke rumahnya dan ia mengetahui siapa pemiliknya, maka ia wajib mengembalikannya kepada pemilik tersebut.” (al-‘Imrani, al-Bayan, [Jeddah, Darul Minhaj: 2000], jilid VII, halaman 348)
Larangan mengambil barang-barang logistik yang hanyut akibat banjir merupakan bentuk perlindungan terhadap hak pemilik asalnya. Barang tersebut tetap berada dalam kepemilikan pemilik semula dan tidak berubah status hanya karena berpindah tempat akibat bencana.
Pengambilan barang tanpa kerelaan pemiliknya termasuk perbuatan yang dilarang dalam Islam serta tidak bermoral dalam situasi bencana. Tindakan tersebut masuk kategori memanfaatkan harta orang lain secara tidak sah. Larangan ini ditegaskan secara jelas dalam firman Allah swt:
وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
Artinya, “Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil” (QS. Al-Baqarah:188)
Dalam konteks banjir, sering muncul alasan darurat. Alasan ini perlu dibedakan. Jika seseorang berada dalam kondisi terancam nyawa dan tidak ada pilihan lain, maka fiqih memberi keringanan untuk mengambil harta orang lain sebatas agar tidak kehilangan nyawa. Di luar kondisi tersebut, pengambilan harta orang lain tetap tidak diperbolehkan.