Dalam hal ini Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan:
وَلَوْ وَجَدَ) مُضْطَرٌّ (طَعَامَ غَائِبٍ) وَلَمْ يَجِدْ غَيْرَهُ (أَكَلَ) وُجُوبًا مِنْهُ مَا يَسُدُّ رَمَقَهُ فَقَطْ أَوْ مَا يُشْبِعُهُ بِشَرْطِهِ وَإِنْ كَانَ مُعْسِرًا لِلضَّرُورَةِ وَلِأَنَّ الذِّمَمَ تَقُومُ مَقَامَ الْأَعْيَانِ (وَغَرِمَ)
Artinya; "Jika orang yang dalam keadaan darurat menemukan makanan milik orang yang tidak ada di tempat dan ia tidak menemukan selain itu, maka ia wajib memakannya. Ia makan sekadar untuk menahan hidup saja. Atau sampai kenyang dengan syaratnya, meski tidak mampu membayar saat itu karena darurat, dan karena tanggungan menempati kedudukan benda, lalu wajib mengantinya," (Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj, [Mesir, Maktabah Tijariyah: 1983], jilid IX, halaman 393)
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa barang yang hanyut tetap menjadi milik pemilik asalnya. Karena itu, tindakan memunguti dan memanfaatkan barang yang hanyut tanpa izin pemiliknya tidak dibenarkan. Kewajiban orang yang menemukannya adalah menjaga dan mengembalikan, bukan menguasai.
Wallahu a’lam
(Rahman Asmardika)