SETIAP ibadah selalu mengandung dimensi vertikal dan horisontal. Vertikal adalah aspek teosentris atau ketuhanan. Horizontal adalah aspek antroposentris atau kemanusiaan.
Dimensi vertikal puasa berupa penafikan diri dari segala bentuk hasrat duniawi, baik berupa makanan maupun kenikmatan seksual untuk melebur kepada kenikmatan sejati bersama Allah, sumber dari segala kenikmatan.
Kefanaan dirinya yang hanya menggantung pada Allah adalah hasil dari proses penyucian diri yang dilakukan orang beriman di bulan puasa. Karena laku spiritual sangat ditekankan bagi orang puasa yang terus diasah siang malam dengan amalan-amalan lebih yang berbeda dengan di luar bulan puasa.
Dimensi horizontal puasa adalah persamaan (egalitarianism). Semua orang Islam, kaya maupun miskin, harus menahan lapar dan nafsu lainnya dari sejak fajar hingga terbenamnya matahari. Orang yang di rumahnya penuh stok makanan dengan orang miskin yang tidak punya ransum makanan sama sekali, sama-sama harus merasakan lapar demi mencapai ridha ilahi.
Esensi puasa adalah menahan diri dari kerakusan urusan dunia dan perut. Orang puasa harus mengikatkan dirinya dengan tali kesederhanaan yang diatur oleh Islam yang mempunyai nial tawazun (keseimbangan). Sekaya apapun orang tidak boleh ‘israf’ (berlebihan) dalam urusan perut.