Oleh karena itu, substansi akadnya bukan utang piutang, tetapi jual beli jasa. Deposit itu sebagai upah yang dibayarkan di muka.
Dalam hal ini costumer tidak dianggap bermuamalah dengan bank melainkan dengan pihak ojek online layaknya e-money. Dengan demikian, maka skema ijarah maushufah fi dzimmah lebih tepat untuk kasus Go-Pay, yaitu bayaran atau fee (ujrah) nya dibayarkan di muka.
Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan, selama ijarah berupa akad muawadhah (berbayar), maka boleh bagi penyedia jasa meminta bayaran (upah) sebelum memberikan layanan kepada pelanggan, sebagaimana penjual boleh meminta uang bayaran (barang yang dijual) sebelum barangnya diserahkan. Jika upah sudah diserahkan, maka penyedia jasa berhak untuk memilikinya sesuai kesepakatan, tanpa harus menunggu layanannya diberikan (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 1/253).
Ini seperti akad salam, hanya saja, objek transaksi akad salam adalah barang. Konsumen membeli barang, uangnya dibayar tunai di depan, namun barang datang kemudian. Seperti juga e-toll atau e-money untuk pembayaran beberapa layanan yang disediakan oleh penyelenggara aplikasi. Akadnya adalah jual beli, dengan uang dibayarkan di depan, sementara manfaat atau layanan baru didapatkan menyusul sekian hari atau sekian waktu kemudian.
Pemilik barang secara prinsip berhak menentukan harga, dan berhak pula memberikan diskon bagi konsumen yang membeli dengan pembayaran cash di muka sebelum barang diserahkan.
Jika hal ini berlaku pada barang, tentu berlaku pula untuk jasa sehingga boleh bagi konsumen yang memiliki Go-Pay memperoleh diskon dari pihak penyedia aplikasi. Dengan demikian hukum bertransaksi menggunakan Go-Pay dalam aplikasi ojek online adalah boleh.
(Dyah Ratna Meta Novia)