PADA umumnya umat Muslim berzikir kepada Allah dengan mengeraskan suara karena sedang mendapat cobaan atau ujian. Namun sebenarnya berzikir dengan suara keras juga baik dipanjatkan untuk mensyusukuri nikmat yang diterima.
Imam Abu Na’im al-Ashbahânî (330-430 H), mencatat suatu riwayat yang menceritakan Imam Ibnu al-Munkadir berzikir dengan suara keras. Kisah itu tertulis dalam kitab Hilyah al-Auliyâ wa Thabaqat al-Ashfiyâ’:
حدثنا أبو محمد بن أحمد الجرجاني، ثنا عبد الله بن محمد بن عبد العزيز، ثنا محمد بن عباد، ثنا سفيان، حدثني المنكدر، قال: كان محمد يقوم من الليل فيتوضأ، ثم يدعو، فيحمد الله عز وجل ويثني عليه ويشكره، ثم يرفع صوته بالذكر، فقيل له: لِمَ ترفع صوتك؟ قال: إن لي جارًا يشتكي يرفع صوته بالوجع، وأنا أرفع صوتي بالنعمة
Abu Muhammad bin Ahmad al-Jurjani bercerita, Abdullah bin Muhammad bin Abdul Aziz bercerita, Muhammad bin ‘Ibad bercerita, Sufyan bercerita, al-Munkadir bercerita kepadaku, ia berkata:
“(Suatu ketika) Muhammad (bin al-Munkadir) bangun pada malam hari, ia berwudhu lalu berdoa, memuji Allah Azza wa Jalla, memuliakan-Nya dan bersyukur kepada-Nya, kemudian mengeraskan suaranya dengan dzikir.”
Ia ditanya: “Kenapa kau mengeraskan suaramu?”
Ia menjawab: “Sesungguhnya aku memiliki tetangga yang (suka) mengeluh, ia mengeraskan suara (keluhan)nya sebab penderitaan, sedangkan aku mengeraskan suaraku sebab nikmat.” (Imam Abu Na’im al-Ashbahânî, Hilyah al-Auliyâ wa Thabaqat al-Ashfiyâ’, Kairo: Dar al-Hadits, 2009, juz 2, halaman 427)
Sebelum menguraikan lebih jauh, perlu diingat terlebih dahulu bahwa semua orang pasti pernah mengalami musibah, penderitaan, dan kekecewaan, siapapun dia, baik anak raja, maupun anak orang bisa.