Tak terkecuali Sayyidina Muhammad bin al-Munkadir (w. 130 H), seorang tabi’in yang mendengar hadits secara langsung dari Sayyidina Jabir bin Abdullah, Sayyidina Abu Hurairah, Sayyidina Abdullah bin Umar, Sayyidina Anas bin Malik, dan lain sebagainya. Ia juga pernah mengalami musibah dan ujian.
Perbedaannya adalah, Sayyidina Muhammad bin al-Munkadir memandangnya sebagai nikmat, sedangkan kebanyakan insan memandangnya sebagai musibah. Itulah hikmah terpenting yang harus diambil dari kisah di atas. Bagi orang-orang tertentu, mereka akan bersyukur ketika diberi cobaan.
Salah seorang sufi mengatakan, “Wa in ashâbanâ syarrun syakarnâ” (dan jika keburukan menimpa kami, maka kami akan mensyukurinya). (Syekh Mutawalli Sya’rawi, Tafsîr al-Sya’râwî, juz 16, halaman 9.729)
Melihat sikap Sayyidina Muhammad bin al-Munkadir dan ulama-ulama lainnya, Muslim seperti digiring untuk memahami musibah sebagai madrasah, semacam pendidikan praktis dalam mengamalkan agama yang mendewasakan jiwa.
Tanpa musibah dan cobaan, mungkin pemahaman sebagian besar umat Islam terhadap kebaikan hanya sekedar teori. Kita tidak akan mengerti pentingnya berbagi tanpa pernah dalam kekurangan. Umat Muslim tidak akan memahami manfaat bersabar tanpa pernah dihadapkan dengan cobaan, dan begitu seterusnya.