Dengan paradigma di atas, alam semesta difahami sebagai gambaran kebenaran dan menjadi simbol supraphysical dari Sang Cahaya Agung. Apapun yang termanifestasi dalam alam semesta adalah ekspresi dari nama-nama (asmaul husna) dan gerak af'al-Nya. Kejadian apapun yang terjadi di alam adalah Iradah-Nya (kehendak-Nya) dan akibat dari gerak cinta-Nya (the motion of love).
Dalam prinsip kausalitas, alam mulk atau alam semesta fisik inilah menjadi sebab ontologis dan epistemologis tentang Wujud Tuhan. Alam menjadi sebab ontologis tentang hakikat wujud-Nya, sementara dalam sebab epistimologis, alam menjadi sumber pengetahuan tentang keberadaan-Nya. Dalam paradigma logika kausalitas, sebab ontologis atau epistemologis dikenal dengan istilah al-burhan al-limmi.
Dengan demikian, Tauhid dalam perspektif tasawuf tidak saja mengimani sisi tanzih Tuhan tetapi juga mengimani sisi tasybih. Implikasi dari kesadaran terhadap Sang wujud dalam ragam manifestasi, melahirkan kesadaran relasional eksistensial dan sikap etis terhadap sesama manusia dan alam sekitar.
Relasi yang terbangun antara manusia dan alam tidak lagi hubungan antara subyek obyek,yang memosisikan manusia sebagai pusat segala galanya dan menjadikan alam sebagai the other, yang bisa diekspoitasi sesuai dengan kehendak bebas dan kepentingan manusia semata. Tauhid mengajarkan hubungan yang seimbang (equilibrium) antara manusia dan alam berdasarkan kesadaran manusia, bahwa entitas apapun di dunia ini hidup dan bertasbih dan memiliki hubungan eksistensial dengan Tuhan.
Demikian juga hubungan antara manusia, lelaki dan perempuan harus dimaknai sebagai relasi seimbang antara sisi maskulinitas dan feminitas, tidak dibenarkan yang satu mendominasi kepada yang lain. Karena jika hal ini terjadi sama saja dengan pengingkaran terhadap manifestasi Jalal dan Jamal Tuhan yang mengalir dalam individualitas manusia.